Between a Rock and a Hard Place: Solving Poverty or Deforestation, What about Doing Both?

KANOPI FEB UI
11 min readJun 21, 2024

--

Judul Artikel : Conditional cash transfers to alleviate poverty also reduced deforestation in Indonesia

Penulis : Paul J. Ferraro, Rhita Simorangkir

Tahun Terbit : 2020

Jurnal : Science Advances Volume 6

Diulas oleh Felisyalya Athifa

Sudah Bantuan Sosial yang Dipolitisasi, Sekarang: Kemiskinan dan Deforestasi

Dua dari tantangan global maupun nasional yang signifikan di abad ke-21 adalah upaya untuk mengurangi tingkat kemiskinan serta memperlambat laju deforestasi. Dua hal ini memiliki dampak luas terhadap keberlanjutan hidup dan kesejahteraan manusia (The United Nation). Bicara solusi mengentaskan kemiskinan, satu hal yang akan terngiang di pikiran setiap individu masyarakat adalah bantuan sosial dari pemerintah. Upaya mengentaskan kemiskinan dari pemerintah ini sering sekali dalam berita terkini, terasosiasi dengan konotasi negatif, seperti kepentingan politik beberapa pihak dibandingkan dengan fokus mengentaskan kemiskinan itu sendiri. Namun, terlepas dari motivasi untuk mencukupi kebutuhan sendiri-sendiri dan pelaksanaan yang tidak tulus untuk mengentaskan permasalahan kemiskinan, ada posibilitas untuk mengeksplorasi dampak berganda, entah itu baik ataupun buruk untuk skala yang lebih besar. Satu kalimat kutipan ini muncul menjadi pemicu untuk menemukan validasi tentang dampaknya.

“We help the world solve its problems by solving our own problems.”

-Thomas Friedman

Seperti isu lingkungan yang bukan hanya masalah milik satu orang, tetapi milik seluruh penduduk bumi, bisakah diselesaikan dari sebuah program bantuan sosial yang ukurannya untuk mencukupi “kepentingan hidup” masing-masing? Apakah benar kita bisa menyelesaikan isu deforestasi dengan menyelesaikan masalah kemiskinan individu-individu di sebuah negara?

Pendahuluan: Bantuan Sosial Jadi Solusi atau Jadi Masalah Bersama?

Indonesia adalah salah satu negara yang paling kaya akan keanekaragaman hayati dan termasuk dalam 10 titik panas keanekaragaman hayati teratas, dengan luas wilayah terbesar yang terkena kemiskinan. Indonesia memiliki hutan tropis terbesar ketiga dan salah satu tingkat deforestasi tertinggi, yang menyebabkan sekitar 1 dari 5 hektar total kehilangan hutan tropis bruto antara tahun 2000 dan 2012. Terutama karena kehilangan ini, Indonesia adalah salah satu penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia. Desa-desa berkontribusi pada kehilangan ini melalui pertanian dan penebangan kayu. Sejak tahun 2008, hutan pedesaan mulai berpartisipasi dalam Program Keluarga Harapan (PKH), yang ditujukan untuk rumah tangga miskin.

PKH mentransfer uang tunai yang bersyarat (CCTs) dengan memenuhi kewajiban kesehatan dan pendidikan. Transfer ini sekitar 15 hingga 20% dari konsumsi penerima dan diterima secara triwulanan selama 6 hingga 9 tahun. Evaluasi program melaporkan bahwa transfer diterima oleh rumah tangga miskin dan membawa mereka di atas constraint (tingkat pengeluaran garis kemiskinan). Namun, belum ada kesepakatan mengenai hubungan sebab-akibat antara upaya mengurangi kemiskinan dan deforestasi.

Grafik 1. Dampak dari CCTs. Grafik kausalitas acyclic terarah di mana satu anak panah (➔) mewakili jalur sebab-mungkin antara dua variabel. Untuk mengidentifikasi efek sebab-akibat dari CCTs terhadap deforestasi, desain empiris harus menghilangkan efek kebingungan dari karakteristik komunitas yang berubah seiring waktu dan yang tetap seiring waktu yang berkorelasi dengan baik deforestasi maupun paparan CCTs. Keadaan kebingungan semacam itu bisa menyembunyikan atau meniru efek sebab-akibat dari CCTs terhadap deforestasi.

Program-program CCTs dapat mempengaruhi deforestasi melalui beberapa mekanisme (Grafik 1). Di antara rumah tangga pertanian miskin yang keputusan konsumsi dan produksinya saling terkait, transfer tunai dapat mengubah konsumsi dan investasi. Konsumsi barang yang intensif dari hutan dapat meningkat, dapat memperburuk deforestasi jika barang-barang tersebut diperoleh dengan menebang hutan atau mengurangi deforestasi jika barang-barang tersebut diperoleh dengan menjaga hutan. Satu penelitian yang dirancang dengan baik melaporkan bahwa CCTs di Meksiko meningkatkan deforestasi dan berpendapat bahwa dampak ini muncul setelah transfer meningkatkan konsumsi produk-produk yang membutuhkan lahan yang intensif (Alex-Garcia et al). Namun, baru-baru ini, para peneliti telah berpendapat bahwa terdapat kemungkinan untuk melindungi habitat dan keanekaragaman hayati tanpa mengganggu, bahkan mungkin membantu, tujuan pengentasan kemiskinan. Jika investasi itu juga dapat memperlambat deforestasi, implikasinya akan penting secara global karena keanekaragaman hayati dan deforestasi secara tidak proporsional terletak di daerah-daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi.

Sayangnya, studi-studi ini umumnya mengalami satu atau lebih kekurangan: (i) desain yang lemah untuk inferensi sebab-akibat; (ii) penggunaan indikator yang luas tentang pertumbuhan ekonomi, bukan kemiskinan itu sendiri; dan (iii) kegagalan untuk mengisolasi intervensi melalui mana kemiskinan berubah. Dengan menyempurnakan poin di atas, peneliti ingin memberikan bukti sebab-akibat berdasarkan mekanisme bahwa sebuah program anti-kemiskinan dalam skala nasional di negara yang penting secara ekologi dan ekonomi. Indonesia adalah contoh yang sempurna sebagai negara yang kaya akan alam dan memiliki program CCTs untuk menumpas kemiskinan.

Data dan Metodologi

Sampel dan Kriteria untuk Mendapat PHK

Peneliti menggunakan data panel Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) yang berjalan dari tahun 2001 hingga 2012. Periode berakhir pada tahun 2012 dengan dua alasan: (i) kriteria kelayakan yang digunakan untuk membuat daftar rumah tangga yang memenuhi syarat untuk PKH berubah pada tahun 2013, dan (ii) cara pengukuran tutupan pohon dari data satelit berubah pada tahun 2013. Inferensi sebab-akibat paling kredibel jika kriteria untuk menentukan kelayakan tidak berubah selama periode penelitian. Untuk memenuhi syarat untuk menerima transfer PKH, sebuah rumah tangga harus dikategorikan sebagai “sangat miskin” dan harus memiliki satu atau lebih dari kondisi-ko

  • ibu hamil atau menyusui,
  • anak usia kurang dari 6 tahun,
  • anak usia sekolah dasar,
  • anak usia sekolah menengah.

Program PKH menargetkan rumah tangga miskin menggunakan dua tingkat penargetan.

  • Tingkat pertama adalah penargetan geografis. Pemerintah Indonesia memilih provinsi berdasarkan kesediaan mereka untuk berpartisipasi dan sejauh mana provinsi tersebut mewakili keragaman Indonesia. Dalam setiap provinsi, kota diklasifikasikan berdasarkan kesediaan mereka untuk menerima program. Dalam kota, kecamatan yang dianggap “supply-side ready” memenuhi syarat untuk berpartisipasi dalam program.
  • Tingkat penargetan kedua diterapkan pada tingkat rumah tangga yang memenuhi syarat.

Dengan demikian, berdasarkan dokumen PKH, penargetan pada tingkat desa adalah fungsi dari jumlah rumah tangga miskin yang memenuhi syarat untuk PKH di desa yang terletak di kecamatan yang siap dari sisi supply. Jadi, estimasi dalam penelitian ini tetap dilakukan pada tingkat kecamatan sehingga standard error yang digunakan pun diambil dari tingkat kecamatan.

Sampel akhir kami terdiri dari 15 provinsi, tersebar di Sumatera, Kalimantan, Bali, dan Kepulauan Nusa Tenggara Barat, yang mewakili 53% hutan Indonesia dengan canopy threshold (penutup kanopi) 75% atau lebih pada tahun 2000 dan memperhitungkan lebih dari 80% kerugian tutupan hutan antara tahun 2000 dan 2012. Setelah menerapkan kriteria inklusi dan eksklusi untuk desa-desa, peneliti memiliki sampel 26.574 desa, di mana 7.468 desa menerima PKH antara tahun 2008 dan 2012, dan 19.106 desa tidak pernah menerima PKH hingga akhir tahun 2012.

Data

Variabel independen penelitian adalah forest cover loss (jumlah hutan hilang), pengukuran ini berasal dari Hansen et al. Untuk menunjuk hutan dalam sampel peneliti sebagai “utama,” peneliti menggunakan poligon hutan primer Indonesia pada tahun 2000 dari Global Forest Watch, yang didasarkan pada data dari Margono et al. Untuk menghitung pertumbuhan kembali, peneliti menggunakan data Vegetation Continuous Fields dari Song et al. Variabel perlakuan peneliti adalah variabel dummy yang menunjukkan apakah sebuah desa terpapar dengan program PKH dalam satu tahun tertentu. Nilainya diperoleh dengan menggabungkan data batas desa Indonesia dari Badan Pusat Statistik dengan indikator desa penerima PKH dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

Peneliti juga menggunakan alternatif perlakuan dalam berbagai ukuran “intensitas paparan,” yang didasarkan pada data tahunan Bappenas tentang jumlah peserta PHK di setiap desa. Untuk menangkap variasi temporal dalam cuaca, peneliti menggunakan data suhu permukaan rata-rata tahunan dan curah hujan rata-rata selama musim hujan (akhir September hingga akhir Desember) dari NASA. Untuk atribut kecamatan yang digunakan untuk menetapkan kelayakan PKH, peneliti mendapatkan data dari Tim Nasional Percepatan Pengurangan Kemiskinan.

Metodologi Estimasi

Untuk mengestimasikan efek PKH terhadap deforestasi di desa-desa yang berpartisipasi, peneliti menggunakan estimator two-way fixed effect panel data, linier, hanya menggunakan sampel 7.468 desa yang terpapar PKH antara tahun 2008 dan 2012. Peneliti menerapkan (1) desain “before-after”, yang menggunakan data longitudinal untuk menyimpulkan efek PKH dengan mendeteksi pergeseran dalam deforestasi antara periode sebelum dan sesudah PKH;

𝑌𝑖𝑡 = 𝛽0 + 𝛽1𝑃𝐾𝐻𝑖𝑡 + 𝛽2𝑋𝑖𝑡 + 𝛼𝑖 + 𝛾𝑡 + 𝜖𝑖𝑡 (1)

  • Yit adalah forest cover loss (ha) di desa (i) pada tahun t (t = 2001–2012),
  • “PKH=1” jika desa i menerima PKH pada tahun t,
  • Xit adalah vektor variabel cuaca yang mencakup suhu permukaan tahunan rata-rata yang distandarkan dan curah hujan rata-rata selama musim hujan
  • 𝛼𝑖 adalah efek desa (atribut yang tidak berubah seiring waktu),
  • 𝛾𝑡 adalah efek tahun untuk tahun t ,
  • 𝜖𝑖𝑡 adalah istilah random error.

(2) desain “with-without”, yang berusaha untuk menyimpulkan efek PKH dengan melihat perbedaan cross-sectional pasca-PKH dalam deforestasi antara desa-desa PKH dan non-PKH;

𝑌𝑖 = 𝛽0 + 𝛽1𝑃𝐾𝐻𝑖 + 𝜖i (2)

dan (3) versi canggih dari desain before-after-control-impact, juga disebut desain DiD, yang berusaha untuk menggabungkan desain (1) dan (2) untuk menyimpulkan efek PKH dengan membandingkan tren deforestasi untuk desa-desa PKH dan semua desa non-PKH; peneliti menyebut desain ini sebagai desain data panel efek tetap menggunakan sampel penuh desa.

Variasi dari estimator ini digunakan untuk memperkirakan bagaimana efek PKH bervariasi berdasarkan jenis hutan. Untuk menerapkan estimator yang sama dengan jumlah piksel daripada hektar, penelitian menggunakan transformasi sinus hiperbolik terbalik (karena nilai kerugian hutan nol dalam panel).

Hasil

Memilih Lensa Kacamata: Pengaruh PKH secara keseluruhan

Grafik 2. Dampak perkiraan PKH terhadap forest cover loss di desa-desa. Batang hitam menggambarkan efek rata-rata yang diperkirakan. Garis-garis whisker menggambarkan CI 95%. Estimasi SE dikelompokkan pada tingkat kecamatan. Pada batang tengah, sampel dibatasi pada desa-desa peserta yang memiliki hutan primer pada tahun 2000, dan pengurangan perkiraan forest cover loss adalah untuk semua area hutan di desa-desa ini. Pada batang di kanan, analisis dibatasi pada area hutan primer di desa yang sama. Untuk dua batang di kanan, estimasi menggunakan desain phase-in didahului dengan matching.

Gambar yang disajikan memberikan analisis mendalam tentang dampak Program Keluarga Harapan (PKH) terhadap deforestasi, dengan menggunakan desain phase-in dan fokus khusus pada desa-desa dengan hutan primer. Analisis ini membagi desa-desa ke dalam tiga kelompok: keseluruhan desa peserta (7468 desa), desa dengan hutan primer (1704 desa), dan desa dengan analisis terbatas pada hutan primer saja (1704 desa).

Secara keseluruhan, PKH berkontribusi pada pengurangan deforestasi sebesar 30%, dengan penurunan rata-rata 1,7 hektar per tahun per desa. Penurunan ini signifikan, tetapi lebih kecil dibandingkan dengan desa yang memiliki hutan primer. Ketika analisis dibatasi pada desa-desa yang memiliki hutan primer pada tahun 2000, dampak PKH terhadap pengurangan deforestasi meningkat menjadi 40%, dengan penurunan rata-rata 12,4 hektar per tahun per desa. Hal ini menunjukkan bahwa hutan primer memainkan peran penting dalam efektivitas PKH dalam mengurangi deforestasi. Lebih jauh lagi, ketika analisis difokuskan hanya pada area hutan primer di desa yang sama, dampaknya semakin besar, dengan pengurangan deforestasi mencapai 49% atau sekitar 16,3 hektar per tahun per desa. Ini menunjukkan bahwa PKH memiliki efek paling signifikan ketika ditargetkan langsung pada area hutan primer.

Setelah memperkaya hasil penelitian dengan data tentang hutan primer, peneliti memperkirakan bahwa hampir setengah dari dampak PKH berasal dari hutan primer (Grafik 2). Efek yang diperkirakan di desa-desa tanpa hutan primer lebih kecil (tabel S5). Perkiraan efek PKH meningkat seiring dengan meningkatnya kepadatan rumah tangga peserta per hektar hutan (tabel S3). Pemisahan desa berdasarkan kelompok menunjukkan bahwa efek pengurangan deforestasi PKH meningkat dengan paparan yang lebih lama, atau mungkin desa yang terkena program PKH lebih awal lebih responsif terhadap PKH dalam hal mengurangi deforestasi (tabel S3).

Untuk memberikan bukti bahwa tren kehilangan hutan tidak mendorong paparan PKH (misalnya, pengurangan kehilangan tutupan hutan “memimpin” paparan PKH daripada “mengikutinya”), peneliti menguraikan efek yang diperkirakan dari PKH menjadi efek spesifik tahun, dengan mempertimbangkan baik pengaruh sebelumnya maupun pengaruh setelahnya (grafik 3). Dampak PKH tidak terlihat di desa-desa sebelum paparan PKH (sebelum tahun 0 dalam gambar), tetapi segera setelah sebuah desa terpapar PKH, dampak tersebut dapat dilihat, meskipun dengan lebih banyak kebisingan dibandingkan dengan spesifikasi asli atau spesifikasi tanpa pengaruh sebelumnya.

Naik-Turun Deforestasi sejak Penerapan PKH

Grafik 3. Dampak perkiraan PKH terhadap forest cover loss selama tahun-tahun sebelum, selama, dan setelah implementasi, 2001–2012. Kotak hitam menggambarkan dampak rata-rata khusus tahun itu selama 4 tahun sebelum implementasi PKH (leads), tahun implementasi, dan 4 tahun setelah implementasi (lags). Garis Whisker menggambarkan CI 95%. Estimasi SE dikelompokkan pada tingkat kecamatan.

Pada grafik 2, kita dapat melihat leads yang terjadi sebelum implementasi subsidi dilaksanakan. Terjadi penurunan deforestasi pada satu tahun sebelum dilaksanakannya subsidi. Hal ini disebabkan oleh terjadinya pula penurunan produksi dan pendapatan masyarakat dari agrikultur di beberapa desa sehingga akhirnya mereka masuk ke kategori yang sesuai untuk menerima PKH. Sebaliknya, setelah masyarakat menerima PKH tersebut, konsumsi meningkat. Peneliti menjelaskan bahwa semakin muda tahun implementasinya maka efek terhadap deforestasi semakin sensitif.

Sensitivitas tersebut terlihat pada satu tahun pertama setelah implementasi, masyarakat keluar dari “garis kemiskinan” dan mampu mengkonsumsi komoditas yang terbuat dari hasil hutan atau agrikultur sehingga terjadi kenaikan deforestasi pula. Namun, masyarakat desa yang memiliki mata pencaharian dari hasil hutan akan mengurangi aktivitas deforestasinya karena bantuan sosial yang diberikan telah membantu mencukupi kebutuhan keluarga mereka.

Selain itu, dapat diasumsikan bahwa kebanyakan dari komoditas yang terbuat dari hasil hutan atau agrikultur yang harus menebang hutang (deforestasi) cenderung tidak dibeli berulang, seperti meja makan, kursi, peralatan rumah. Oleh karena itu, deforestasi mulai menurun kembali setelah tahun pertama karena PKH telah mencukupi sebagian/seluruh kebutuhan keluarganya dan dengan asumsi masyarakat telah membeli kebutuhan komoditas dari hasil hutan di tahun pertama mereka mendapatkan PKH saja.

Menyelisik Lebih Jauh: Perbedaan Hasil pada Hutan Primer dan Hutan Lindung

Grafik 4. Perkiraan dampak PKH terhadap forest cover loss dengan canopy threshold sebesar 30%

Dampak PKH terhadap semua jenis hutan di desa-desa yang mendapat intervensi menunjukkan penurunan deforestasi sebesar 5,834 hektar per tahun, yang signifikan dengan interval kepercayaan 95% antara -9,673 dan -1,996. Penurunan ini lebih terlihat pada hutan masyarakat, dengan deforestasi berkurang sebesar 3,044 hektar per tahun, signifikan dalam interval -4,653 hingga -1,436. Sementara itu, untuk hutan konsesi, penurunan deforestasi sebesar 2,168 hektar per tahun tidak signifikan. Penurunan deforestasi di area lindung sangat kecil dan tidak signifikan, hanya sebesar 0,096 hektar per tahun.

Penurunan yang sangat kecil dan tidak signifikan di area lindung dapat dijelaskan oleh adanya regulasi ketat yang diterapkan di area ini untuk mencegah deforestasi. Area lindung biasanya dilindungi oleh undang-undang dan peraturan yang tegas yang membatasi aktivitas manusia, seperti penebangan pohon, pertanian, dan pembangunan infrastruktur. Peraturan ini sering kali diberlakukan dengan sanksi yang ketat bagi pelanggar, sehingga menciptakan penghalang yang efektif terhadap aktivitas deforestasi.

Kesimpulan

Apakah mengurangi kemiskinan memiliki biaya lingkungan yang tak terhindarkan? Di Indonesia, peneliti menemukan bukti bahwa, dalam beberapa kondisi, jawaban atas pertanyaan ini adalah “Tidak.” Meskipun program PKH tidak dirancang untuk melindungi lingkungan, penelitian ini membuktikan secara konsisten bahwa PKH telah berhasil mengurangi deforestasi sekitar 1/10 dari ukuran standar deviasi. Untuk perbandingan, dalam tinjauan atas program-program layanan lingkungan yang dirancang secara eksplisit untuk mengurangi deforestasi, ukuran efek median adalah 0,12 standar deviasi, dan program-program tersebut telah dikritik karena tidak mencapai orang-orang miskin secara langsung.

Selain itu, mekanisme yang digunakan program ini untuk mencapai dampak lingkungan unik untuk Indonesia. Di seluruh dunia tropis, rumah tangga miskin bergantung pada deforestasi sebagai cara untuk memperoleh barang konsumsi dan sebagai asuransi terhadap dampak negatif. Apakah hasil penelitian dapat digeneralisasikan ke pengaturan lainnya akan tergantung pada peran mekanisme ini dan mekanisme lain yang bersaing. Meskipun demikian, studi ini menawarkan sedikit harapan bahwa upaya global untuk memberantas kemiskinan ekstrem tidak harus memiliki biaya lingkungan yang tak terhindarkan.

Diskusi

Dari perspektif ekonomi lingkungan, hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa intervensi sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH) tidak hanya memberikan manfaat sosial-ekonomi bagi masyarakat, tetapi juga memiliki potensi signifikan untuk mengurangi kehilangan tutupan hutan. Implementasi yang tepat sasaran dan mempertimbangkan keberadaan hutan primer dapat meningkatkan efektivitas program ini dalam memerangi deforestasi. Pengurangan signifikan dalam deforestasi, terutama di area hutan primer, juga dapat diterjemahkan ke dalam keuntungan ekonomi jangka panjang melalui konservasi sumber daya alam, perlindungan keanekaragaman hayati, dan mitigasi perubahan iklim. Analisis ini mendukung argumen bahwa program bantuan sosial dapat dan harus dipertimbangkan sebagai alat dalam strategi kebijakan lingkungan yang lebih luas.

Namun, kasus pada hutan lindung yang dampak PKH-nya tidak signifikan pada deforestasi menjadi sebuah refleksi pula tentang pentingnya regulasi. Terlepas banyak atau sedikitnya motivasi masyarakat untuk melakukan penggundulan hutan dari sebuah program bantuan pemerintah, seharusnya itu tidak menjadi hambatan yang telak untuk menerapkannya ketika pemerintah secara aktif mempertimbangkan regulasinya mengenai kemungkinan deforestasi yang dapat muncul. Hal ini menekankan pentingnya kombinasi kebijakan sosial dan lingkungan yang disesuaikan dengan kondisi spesifik setiap jenis area hutan untuk mencapai hasil yang optimal. Dengan mempertimbangkan semua faktor ini, sebuah negeri harus memikirkan kembali bagaimana kebijakan sosial dan lingkungan dapat saling melengkapi dan memperkuat satu sama lain untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang lebih luas.

--

--