Beyond Macroeconomic Indicators: What Can Influence the Share of Votes in an Election?

KANOPI FEB UI
15 min readDec 4, 2023
source. dokpri

Diulas oleh: Divisi Penelitian KANOPI FEB UI 2023

Pendahuluan

Pemilihan umum merupakan mekanisme utama dalam penentuan pemimpin di sebuah negara yang menganut sistem demokrasi. Secara ekstensif, telah banyak literatur yang berfokus pada indikator ekonomi seperti inflation rate, economic growth, unemployment rate, hingga keadaan krisis sebagai determinan dari share of votes, misalnya yang terdapat dalam Palmer dan Whitten (1999), Dassonneville dan Lewis‐Beck (2014), Hernández dan Kriesi (2015), Baccini et al. (2021), dll. Paradigma ini dikenal dengan istilah economic voting.

Secara intuitif, tentunya share of votes sebagai hasil dari pemilu tidak hanya dipengaruhi oleh faktor makroekonomi, tetapi juga oleh berbagai faktor lainnya. Faktor-faktor tersebut dapat berupa strategi yang dilakukan kandidat seperti vote-buying melalui pemberian electoral handout (Gallego et al., 2023) maupun karakteristik yang berkaitan dengan SARA (Heath et al., 2015; Ferree et al., 2021). Selain itu, seiring berjalannya waktu, ekonom mulai melihat aspek yang lebih luas daripada sekadar indikator ekonomi yang menunjukkan kesejahteraan masyarakat, misalnya melalui tingkat kebahagiaan masyarakat (Ward, 2019). Media massa dan media sosial juga dapat mempengaruhi pilihan masyarakat, sebagaimana yang terdapat dalam studi Aker et al. (2017). Bahkan, daya tarik kandidat (beauty premium) juga turut menjadi variabel yang dianalisis (Wigginton dan Stockemer, 2021).

Karena terdapat banyaknya variabel yang mungkin dapat memengaruhi share of votes dalam pemilu, Kilas Literatur ini mengulas berbagai berbagai penelitian yang ditulis pada tahun 2012 dan seterusnya yang menganalisis determinan tersebut dan mengelompokkannya menjadi beberapa kategori: (1) kondisi makroekonomi, (2) kondisi sosial-lingkungan, (3) media dan strategi kandidat, serta (4) misconduct. Kami sadar bahwa begitu luasnya aspek yang mungkin memengaruhi share of votes dalam sebuah pemilu membuat literature review yang kami sajikan tidak dapat memenuhi sifat “collectively exhaustive”, baik dengan tidak dimasukkannya determinan lain yang seharusnya memengaruhi maupun tidak dimasukkannya seluruh literatur berdasarkan kategori yang telah dibuat. Namun, kami berharap bahwa Kilas Literatur ini dapat memberikan wawasan dan menjadi sumber inspirasi dalam penelitian yang akan datang.

Isi

Makroekonomi

Sejak lama, para ekonom telah menganalisis pengaruh kondisi makroekonomi terhadap share of votes. Lewis-Beck dan Stegmaier (2019) dalam The Oxford Handbook of Public Choice memaparkan perkembangan teori economic voting. Tahun 1930–1960 menjadi tahapan awal yang mengeksplorasi eksistensi dari pengaruh ekonomi terhadap pemilu, dengan subjek penelitiannya adalah negara secara individu. Dalam dua dekade berikutnya (1970–1990), “vote-popularity functions” mulai muncul dan berkembang. Kemudian, pada tahun 1980–2000, terdapat banyak penelitian terkait economic voting di tingkat mikro dalam suatu negara. Memasuki abad ke-21 sebagai era kontemporer, pembahasan menjadi lebih kompleks seperti dimasukkannya unsur sociotropic retrospective economic evaluation, krisis ekonomi, dan lain sebagainya.

Beberapa dari sekian banyak literatur economic voting adalah sebagai berikut: Palmer dan Whitten (1999) menganalisis pengaruh unexpected growth dan unexpected inflation terhadap share of votes petahana di 19 negara industrial pada tahun 1970–1974 dengan metode OLS dan MLE. Peneliti menemukan bahwa komponen unexpected dari economic growth dan inflation berpengaruh lebih signifikan daripada economic growth dan inflation secara keseluruhan. Hal ini terjadi karena unexpected inflation tidak tertangkap dalam collective bargaining, pension plan, dan kontrak ekonomi lainnya sehingga memengaruhi real wealth seseorang, sedangkan unexpected growth menggambarkan kinerja/kebijakan yang sukses oleh petahana.

Dassonneville dan Lewis-Beck (2014) juga menganalisis dampak dari pertumbuhan PDB terhadap hasil pemilu nasional, secara spesifik terhadap vote shares dari partai yang memerintah pada 359 pemilu di negara-negara Eropa dari tahun 1950 dan seterusnya. Menggunakan model data panel statis dan dinamis, ditemukan bahwa PDB memiliki dampak yang signifikan secara statistik dan penting secara substansial terhadap vote share petahana. Kemudian, hubungan ekonomi dengan pemilu bersifat asymmetric: tingkat pertumbuhan PDB yang negatif memiliki dampak yang lebih besar terhadap share of votes petahana. Hal ini tercermin dari koefisien pertumbuhan ekonomi negatif bernilai lebih besar dibandingkan dengan koefisien untuk pertumbuhan ekonomi positif.

Terkait pengaruh dari krisis, Hernández dan Kriesi (2015) melakukan studi terhadap 30 negara demokratis di Eropa pasca-krisis 2008 hingga tahun 2014. Menggunakan metode OLS, peneliti menemukan bahwa krisis berpengaruh negatif dan signifikan (dalam jangka pendek) terhadap share of votes dari petahana sesuai dengan teori economic voting. Namun, dampaknya beragam berdasarkan kondisi ekonomi pra-krisis. Dampaknya besar untuk negara yang telah mengalami tekanan ekonomi sebelum krisis tetapi cenderung tidak berdampak untuk negara yang memiliki keadaan ekonomi yang lebih baik sebelum krisis. Selain itu, krisis ekonomi pada negara yang telah mengalami tekanan sebelumnya juga menyebabkan perubahan sistem partai dalam jangka panjang melalui teori realignment dan dealignment.

Selain itu, Burlacu (2014) menganalisis hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan tata kelola yang baik serta kombinasinya terhadap hasil pemilu dengan sampel 160 pemilu parlemen tahun 1984–2011 di 32 negara. Ditemukan bahwa tata kelola memiliki hubungan yang signifikan dengan hasil pemilu petahana, terutama dalam konteks kondisi perekonomian yang buruk serta tingkat pembangunan ekonomi yang tergolong rendah. Kemudian, ditemukan juga bahwa ketika pemerintahan dan pertumbuhan ekonomi membaik, terdapat dampak yang lebih besar terhadap hasil pemilu, terutama pada negara berkembang. Sebaliknya, ketika pemerintahan dan pertumbuhan ekonomi memburuk, terdapat kemungkinan lebih tinggi bagi petahana untuk kalah dalam pemilu. Selain itu, dampak dari tata kelola ini tidak terlalu signifikan di negara maju karena masyarakat di negara maju cenderung mempertimbangkan banyak aspek selain tata kelola.

Sosial dan Lingkungan

Di luar paradigma economic voting, terdapat banyak hal yang turut memengaruhi share of votes dalam pemilu. Misalnya, para ekonom mulai melihat beyond economics seperti tingkat kebahagiaan di suatu negara. Menggunakan data dari survei Eurobarometer yang diestimasi menggunakan OLS fixed effects, Ward (2019) menganalisis bagaimana Subjective Well-Being (SWB) dapat memengaruhi share of votes dari petahana. Dalam temuannya, tingkat kebahagiaan baik secara nasional maupun individu berpengaruh positif terhadap share of votes partai petahana. Bahkan, tingkat kebahagiaan nasional memiliki koefisien yang lebih besar daripada pertumbuhan ekonomi, sedangkan inflation rate dan unemployment rate tidak signifikan. Namun, karena data yang digunakan bersifat observasional, peneliti menyadari bahwa temuannya tidak sepenuhnya menunjukkan hubungan kausalitas. Meskipun begitu, telah terdapat beberapa literatur yang memanfaatkan variasi eksogen dalam SWB untuk menjelaskan hubungan kausalitas tersebut.

Selain kebahagiaan, beberapa kondisi sosial seperti keberagaman masyarakat juga memengaruhi share of votes di suatu wilayah. Coma dan Nai (2017) meneliti 650 pemilu dari berbagai penjuru dunia dengan metode estimasi GLS dan menemukan bahwa semakin tinggi tingkat keberagaman etnis di suatu wilayah, semakin rendah tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu. Dalam kondisi masyarakat yang heterogen pula isu SARA dapat memengaruhi share of votes dalam pemilu. Misalnya, studi yang dilakukan oleh Heath et. al (2015) terhadap Uttar Pradesh (daerah di India yang memiliki sejarah konflik antara umat Hindu dan Islam) menunjukkan bahwa masyarakat Muslim sebagai minoritas cenderung memilih kandidat Muslim hanya jika kandidat tersebut memiliki kemungkinan menang yang realistis. Selain itu, tidak ada bukti kuat secara statistik yang menunjukkan bahwa masyarakat Hindu melakukan praktik diskriminasi terhadap kandidat Muslim. Selain itu, Ferree et. al (2021) mengeksplorasi tantangan yang dihadapi oleh pemilih dalam mengevaluasi hasil kerja petahana yang memiliki kelebihan dan kekurangan. Kompleksitas evaluasi kerja tersebut membuat pemilih bergantung pada jalan pintas informasi seperti etnis sehingga mengurangi efektivitas pemilihan umum.

Terkait migrasi pengungsi, studi yang dilakukan oleh Dustmann et. al (2018) terhadap pemilu (di tingkat parlemen dan daerah) di Denmark pada tahun 1989–1997 menunjukkan bahwa proporsi pengungsi sebagai penduduk di suatu daerah memengaruhi share of votes berbagai partai secara berbeda: peningkatan share of votes partai tengah-sayap kanan, sedangkan penurunan share of votes partai sayap kiri. Selain itu, studi ini juga menemukan bahwa penduduk daerah perkotaan cenderung bersikap lebih positif terhadap pengungsi dibandingkan penduduk daerah pedesaan.

Selain itu, faktor sosial seperti globalisasi terhadap dinamika pemilu periode 1994–2008 di Italia diteliti oleh Caselli et al. (2019) menggunakan model data panel dengan fixed effects. Analisis empiris menunjukkan bahwa globalisasi memainkan peran yang relevan dalam membentuk hasil lokal dari pemilu di Italia. Studi ini menemukan bahwa kesuksesan elektoral partai sayap kanan di Italia dari tahun 1994 hingga 2008 dipengaruhi oleh intensitas imigrasi dan paparan persaingan impor dari Tiongkok. Imigrasi muncul sebagai isu politik yang lebih kuat dan memecah belah dibandingkan dengan persaingan impor. Keberadaan imigran yang meningkat secara negatif memengaruhi partisipasi pemilih.

Kondisi lingkungan juga merupakan variabel yang kerap dihubungkan dengan share of votes. Studi yang dilakukan oleh Masiero dan Santarossa (2021) menggunakan metode DiD dengan subjek analisis 16.266 municipal elections di Italia. Penelitian tersebut menemukan bahwa kejadian gempa bumi meningkatkan probabilitas terpilihnya kembali walikota petahana sebesar 8–11% dengan persentase suara naik lebih dari 5%. Peningkatan tersebut diyakini terjadi melalui kinerja yang dilakukan, peningkatan rekognisi pada media, hingga faktor lainnya yang dapat meningkatkan citra wali kota. Sementara itu, dukungan mitigasi climate change yang dilakukan pemerintah justru dapat berkorelasi positif maupun negatif terhadap share of votes. Selain itu, Marteli et. al (2017) menganalisis pengaruh dari dukungan pemerintah daerah di Italia untuk mitigasi climate change (yang ditunjukkan dengan penandatanganan CoM (Covenant of Mayors)) terhadap share of votes petahana dalam pilkada berikutnya. Menggunakan Instrumental Variable, penandatanganan CoM memiliki koefisien yang positif, tetapi nilainya tidak signifikan secara statistik.

Dalam ranah gender, sudah cukup banyak penelitian terdahulu yang mengaitkan gender dengan politik. Berdasarkan sampel 5.706 pemilu di tingkat kota di Prancis pada tahun 2008–2014, Peveri dan Sangnier (2023) dengan metode RDD (Regression Discontinuity Design) menemukan bahwa wanita cenderung untuk tidak mencalonkan diri lagi ketika dirinya sudah pernah kalah dalam kontes pemilihan. Hal ini didasari dari teori bahwa perempuan kurang nyaman dibandingkan dalam lingkungan yang kompetitif dan lebih cenderung untuk menghindari hal tersebut dibandingkan laki-laki. Dalam sistem pemilihan, studi oleh Migheli (2022) menggunakan data dari World Values Survey melihat bagaimana sistem pemilihan berdampak terhadap kesenjangan gender saat pemilihan umum untuk kursi di parlemen. Ditemukan bahwa sistem pemilu proporsional berperan paling efektif untuk mengurangi bias representasi gender. Sementara itu, Sistem pemilu mayoritas dan proporsional dengan ambang batas menciptakan bias representasi gender yang paling besar pada semua negara. Penelitian lain oleh Giger et al. (2014) juga melihat hal sama di negara Finlandia antara tahun 1979–2011 yang menghasilkan temuan bahwa perbedaan gender dalam pemilihan berdasarkan jenis kelamin yang sama secara signifikan berkurang ketika memperhitungkan magnitudo daerah pemilihan dan rasio gender di antara kandidat dan wakil yang terpilih.

Selain gender, identitas lain seperti tingkat pendidikan serta penampilan kandidat juga turut andil dalam ranah pemilihan. Studi oleh Arceneaux dan Wielen (2023) di Amerika Serikat menemukan bahwa kandidat dengan pendidikan lebih tinggi cenderung lebih banyak mendapat suara dan peluang menang. Hal ini terjadi karena pendidikan kandidat dianggap memengaruhi persepsi pemilih tentang kualifikasi kandidat dan kemampuan mereka untuk mewakili kepentingan pemilih. Sementara itu, Wigginton dan Stockemer (2021) menganalisis beauty premium dalam pemilu. Hasilnya, studi ini tidak melihat bahwasannya terdapat peran daya tarik kandidat dengan hasil pemilihan di wilayah Quebec, Kanada. Namun, penulis juga menyinggung bahwa pengaruh daya tarik fisik terhadap keberhasilan calon juga dipengaruhi oleh karakteristik wilayah masing-masing karena beberapa studi sebelumnya (di wilayah yang berbeda) melihat adanya korelasi positif antara daya tarik dengan hasil pemilihan.

Misconduct

Misconduct diketahui menjadi salah satu faktor utama yang mempengaruhi hasil pemilu di banyak negara. Rienks (2023) mengkaji berbagai bentuk pelanggaran dan pengaruhnya terhadap perolehan share of votes menggunakan data pemilu daerah tahun 2008–2018 di Belanda. Dengan metode estimasi OLS two-way fixed effect, peneliti menguji secara empiris Type-selection theory (tipe dan karakter politisi menentukan pilihan masyarakat) serta Accountability theory (kinerja politisi menentukan pilihan masyarakat) dan menemukan bahwa misconduct yang terdiri atas komponen korupsi, skandal, dan inkompetensi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap share of votes sebuah partai. Di antara tiga komponen tersebut, variabel korupsi memiliki nilai absolut koefisien yang paling tinggi, disusul oleh skandal dan inkompetensi.

Selain itu, Jha (2023) berfokus pada tingkat toleransi masyarakat terhadap misconduct berdasarkan berbagai faktor sosial menggunakan data dari 85.245 orang yang disurvei pada tahun 2013 dari 24 negara Eropa. Pertama, seiring bertambahnya usia, kemungkinan seseorang untuk memilih alternatif yang tidak korupsi meningkat dan kemungkinan untuk tidak melakukan pemungutan suara menurun. Selain itu, hasil penelitian menemukan bahwa perempuan lebih sedikit menoleransi misconduct dibandingkan laki-laki meskipun harus dinyatakan bahwa individu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi memberikan penekanan yang lebih besar pada partisipasi politik. Di negara-negara kaya, masyarakat lebih cenderung mendukung pilihan non-korupsi jika partai politik pilihan mereka terlibat korupsi, sementara masyarakat berpenghasilan tinggi cenderung mengabaikan isu-isu tersebut. Kesenjangan ini diduga timbul dari fakta bahwa kelompok termiskin di negara-negara berkembang adalah kelompok yang paling terdampak akibat korupsi karena mereka sering menerima permintaan suap dalam skala kecil (Global Corruption Barometer, 2013). Kelompok sosial menengah ke atas kurang terpapar terhadap tuntutan-tuntutan tersebut, bahkan mungkin mengeksploitasi korupsi demi keuntungan mereka.

Vivyan et al., (2012) turut memberikan bukti dan wawasan tentang dampak dari representative misconduct terhadap persepsi pemilih dan mekanisme pertanggungjawaban dalam konteks skandal biaya. Data diambil dari British Electoral Studies (BES) yang menjalankan survei paralel melalui internet dan tatap muka pada 4 tahap antara tahun 2005–2010. Studi ini menemukan bahwa persepsi pemilih responsif terhadap informasi publik tentang keterlibatan anggota parlemen (MP) dalam skandal biaya tetapi ketidaktahuan pemilih cukup besar, sementara bias partai membentuk persepsi. Anggota parlemen yang terlibat dalam skandal hanya sedikit lebih buruk dalam pemilihan dibandingkan dengan rekan-rekan yang tidak terlibat bahkan ketika informasi tentang kesalahan perwakilan mudah ditemukan dan jelas mempengaruhi persepsi pemilih. Kekurangan pertanggungjawaban pemilihan untuk misconduct dapat terjadi karena pemilih tidak mengetahui kesalahan perwakilan mereka atau karena mereka memilih untuk tidak memberikan sanksi pemilihan.

Donno dan Roussias (2012) menyelidiki bagaimana sistem kepartaian di rezim pemilu yang baru dibentuk dan dipengaruhi oleh misconduct pemilu. Studi ini menggunakan data dari 166 pemilihan legislatif di negara-negara Amerika Latin dan pasca-komunis antara tahun 1990 dan 2004. Hipotesis penelitian tersebut menunjukkan adanya dampak “psikologis” yang dipengaruhi oleh misconduct pemilu: partai-partai oposisi mengundurkan diri saat masa pencalonan, menghadapi pembatasan dalam kemampuan mereka untuk berkampanye, dan para pemilih diintimidasi atau tidak dianjurkan untuk mendukung oposisi. Sebaliknya, manipulasi pemilihan umum, yang dilakukan pada saat pemberian suara, penghitungan, atau tabulasi suara, memiliki dampak langsung dan “mekanis” terhadap pembagian suara. Penelitian ini menyatakan bahwa ada tiga mekanisme spesifik: pencegahan, informasi, dan kecurangan yang menghubungkan kedua jenis pelanggaran ini dengan pengurangan jumlah partai. Peneliti menemukan bahwa pelanggaran pemilu mempunyai dampak reduktif yang kuat terhadap jumlah partai yang efektif; tetapi tidak dalam manipulasi pemilihan umum. Penyelidikan lebih lanjut menunjukkan bahwa intimidasi terhadap partai oposisi dan pemilih merupakan mekanisme paling efektif yang dapat digunakan untuk mengurangi jumlah partai karena misconduct.

Media dan Strategi Kandidat

Media memegang peranan penting sebagai sarana promosi kandidat selama masa kampanye. Hal ini dapat dilihat dari penelitian Caprini (2023) dengan sampel negara Italia pada tahun 2013. Saat itu, media massa (breaking news televisi) sedang gencar meliput dua hal: Kemungkinan pengunduran diri Paus Benediktus VI dan pemilu Italia, tetapi highlight-nya adalah pengunduran diri Paus. Ketika Sri Paus akhirnya mengumumkan pengunduran dirinya pada 11 Februari, siaran berita pun mengurangi frekuensi breaking news-nya, berita politik menjadi kurang diberitakan. Orang-orang beralih ke internet untuk mencari berita seputar politik. Hal ini sangat berdampak bagi kandidat yang menggunakan televisi sebagai basis propagandanya. Salah satu kandidat yang diprediksi kuat menang, Silvio Berlusconi, yang sering muncul dalam breaking news, kehilangan eksposur untuk berkampanye. Masyarakat lalu beralih ke media sosial untuk mencari berita terkait politik dan tertarik dengan kandidat partai dengan basis propaganda yang internet-sentris. Pada hari pemilu tanggal 24–25 Februari pangsa suara Berlusconi berkurang sebanyak 0,4% mengakibatkan kekalahannya.

Peran televisi sebagai sarana kandidat meningkatkan popularitasnya pun berbeda untuk setiap negara. Mougin (2024) mencatat pada pemilu Kenya tahun 2017, kandidat petahana Uhuru Kenyatta menang dengan persentase 54,17%. Dalam hal ini, kampanye kandidat di siaran televisi tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap pilihan mereka saat pemilu. Namun, kandidat oposisi Raila Odinga menyatakan pemerintah telah menyabotase hasil pemilu dan menggugat perkara itu ke Mahkamah Agung. Pemilu putaran dua pun digelar. Hal ini diliput oleh berbagi siaran televisi dan menarik perhatian masyarakat. Kedua kandidat gencar melakukan kampanye dan masyarakat mendapat banyak informasi mengenai keadaan politik yang ada. Pada pemilu putaran kedua, petahana Uhuru Kenyatta kembali menang dengan persentase suara 98,26%. Siaran televisi memegang pengaruh penting pada pemilu putaran kedua.

Tidak sebatas televisi dan internet, media yang lebih tradisional seperti surat kabar juga memainkan peran krusial dalam pemilu. Sebagaimana diteliti oleh Aker et al. (2017) saat pemilu di Mozambik tahun 2009. Mozambik adalah negara dengan tingkat pendidikan rendah sehingga berdampak pada akuntabilitas politiknya. Dalam penelitian ini, tim riset mengoordinasikan penyebaran surat kabar gratis “Verdade” yang bersifat netral ke lokasi pemungutan suara terpilih di luar kota Maputo (ibu kota Mozambik) yang bertujuan untuk meningkatkan informasi politik di kalangan pemilih di Mozambik, di mana tingkat informasi politik rendah, dan menyerukan partisipasi mereka dalam pemilu. Distribusi surat kabar ini ditemukan sangat efektif dalam meningkatkan akuntabilitas politik, meningkatkan permintaan akuntabilitas politik di antara masyarakat, serta menurunkan kejadian dan intensitas masalah pemilu, terutama pelanggaran kampanye. Dalam berbagai kondisi sosial dan politik, media menjadi instrumen yang krusial dalam pemilu, baik bagi kandidat maupun masyarakat.

Selain memanfaatkan pengaruh media, kandidat juga kerap menggunakan strategi tertentu untuk memperbesar kemenangannya. Duggan dan Milazzo (2023) meneliti penggunaan pesan negatif oleh kandidat parlemen selama pemilu di Inggris. Penulis meneliti 7.500 selebaran dari empat pemilu antara tahun 2010–2019 dan menganalisis pesan negatif yang digunakan kandidat di selebaran tersebut untuk menyerang lawannya. Ditemukan bahwa kandidat yang saling bersaing dalam daerah pemilihan yang sangat kompetitif cenderung menyerang lawannya dengan pesan negatif dalam selebaran yang mereka bagikan. Kandidat oposisi juga cenderung menggunakan pesan negatif saat bersaing melawan kandidat petahana. Hal ini dilakukan atas dasar tekanan dari lingkungan lokal dan nasional karena kemungkinan kalah mereka yang besar.

Strategi yang digunakan kandidat tidak hanya ditujukan untuk lawannya saja. Ada juga strategi yang digunakan untuk menarik hati masyarakat pemilih selama masa kampanye. Hal ini bisa terlihat dalam kasus selama pemilu di 17 negara Afrika Sub-Sahara pada rentang tahun 2000–2005 serta 20 negara Amerika Latin pada rentang tahun 2005–2010 yang dianalisis oleh Gallego et al. (2023). Praktik pembelian suara dengan memberikan barang-barang kebutuhan pribadi untuk mendapatkan dukungan suara saat pemilu lazim terjadi di Afrika Sub-Sahara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik di Afrika Sub-Sahara maupun Amerika Latin, pengaruh dari electoral handout terhadap partisipasi politik dan dukungan politik bersifat lemah sehingga memunculkan pertanyaan yang dapat dijadikan refleksi: “Mengapa masih terdapat banyak kandidat yang melakukan praktik electoral handout?”

Summary Table

Keterangan: (+): positif dan signifikan, (-): negatif dan signifikan, (+/-): tergantung (0): tidak berpengaruh

Penutup

Kilas Literatur ini telah membahas berbagai determinan (yang terbagi dalam kategori makroekonomi, sosial-lingkungan, misconduct, serta media dan strategi kandidat) yang dapat memengaruhi share of votes dalam sebuah pemilu. Namun, terdapat beberapa catatan: tidak dapat dilakukan generalisasi sepenuhnya berdasarkan hasil penelitian yang ada karena daerah yang berbeda tentunya memiliki karakteristik yang berbeda pula. Selain itu, harus benar-benar diperhatikan apakah hasil penelitian yang ada sudah menunjukkan hubungan kausalitas ataukah masih sekadar korelasi. Yang terakhir, seperti yang telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, literatur yang disajikan tidak bersifat collectively exhaustive akibat topik yang masih sangat luas. Oleh sebab itu, dalam studi yang akan datang, peneliti dapat mencari berbagai sumber pustaka di luar Kilas Literatur ini sesuai dengan topik yang diangkatnya.

Referensi

Aker, J. C., Collier, P., & Vicente, P. C. (2017). Is Information Power? Using Mobile Phones and Free Newspapers during an Election in Mozambique. The Review of Economics and Statistics, 99(2), 185–200. https://doi.org/10.1162/rest_a_00611

Arceneaux, K., & Wielen, R. J. V. (2023). Do voters prefer educated candidates? How candidate education influences vote choice in congressional elections. Electoral Studies, 82, 102596. https://doi.org/10.1016/j.electstud.2023.102596

Baccini, L., Brodeur, A., & Weymouth, S. (2021). The COVID-19 pandemic and the 2020 US presidential election. Journal of Population Economics, 34(2), 739–767. https://doi.org/10.1007/s00148-020-00820-3

Burlacu, D. (2014). It’s not only the economy, stupid! Good governance matters in elections. Electoral Studies, 36, 173–185. https://doi.org/10.1016/j.electstud.2014.09.012

Caprini, G. (2023). Does candidates’ media exposure affect vote shares? Evidence from Pope breaking news. Journal of Public Economics, 220, 104847. https://doi.org/10.1016/j.jpubeco.2023.104847

Caselli, M., Fracasso, A., & Traverso, S. (2019). Globalization and electoral outcomes: Evidence from Italy. Economics & Politics, 32(1), 68–103. https://doi.org/10.1111/ecpo.12147

Coma, F. M. I., & Nai, A. (2017). Ethnic diversity decreases turnout. Comparative evidence from over 650 elections around the world. Electoral Studies, 49, 75–95. https://doi.org/10.1016/j.electstud.2017.07.002

Dassonneville, R., & Lewis‐Beck, M. S. (2014). Macroeconomics, economic crisis and electoral outcomes: A national European pool. Acta Politica, 49(4), 372–394. https://doi.org/10.1057/ap.2014.12

Donno, D., & Roussias, N. (2011). Does cheating pay? The effect of electoral misconduct on party systems. Comparative Political Studies, 45(5), 575–605. https://doi.org/10.1177/0010414011427130

Duggan, A., & Milazzo, C. (2023). Going on the offensive: Negative messaging in British general elections. Electoral Studies, 83, 102600. https://doi.org/10.1016/j.electstud.2023.102600

Dustmann, C., Vasiļjeva, K., & Damm, A. P. (2018). Refugee migration and electoral outcomes. The Review of Economic Studies, 86(5), 2035–2091. https://doi.org/10.1093/restud/rdy047

Ferree, K. E., Gibson, C. H., & Long, J. E. (2021). Mixed records, complexity, and ethnic voting in African elections. World Development, 141, 105418. https://doi.org/10.1016/j.worlddev.2021.105418

Gallego, J., Guardado, J., & Wantchékon, L. (2023). Do gifts buy votes? Evidence from sub-Saharan Africa and Latin America. World Development, 162, 106125. https://doi.org/10.1016/j.worlddev.2022.106125

Giger, N., Holli, A. M., Lefkofridi, Z., & Wass, H. (2014). The gender gap in same-gender voting: The role of context. Electoral Studies, 35, 303–314. https://doi.org/10.1016/j.electstud.2014.02.009

Heath, O., Verniers, G., & Kumar, S. (2015). Do Muslim voters prefer Muslim candidates? Co-religiosity and voting behaviour in India. Electoral Studies, 38, 10–18. https://doi.org/10.1016/j.electstud.2015.01.005

Hernández, E., & Kriesi, H. (2015). The electoral consequences of the financial and economic crisis in Europe. European Journal of Political Research, 55(2), 203–224. https://doi.org/10.1111/1475-6765.12122

Jha, C. K. (2022). Condoning corruption: Who votes for corrupt political parties? Social Science Research Network. https://doi.org/10.2139/ssrn.4270027

Lewis‐Beck, M. S., & Stegmaier, M. (2019). Economic Voting. The Oxford Handbook of Public Choice, 1, 246–265. https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780190469733.013.12

Masiero, G., & Santarossa, M. (2021). Natural disasters and electoral outcomes. European Journal of Political Economy, 67, 101983. https://doi.org/10.1016/j.ejpoleco.2020.101983

Martelli, S., Janssens‐Maenhout, G., Paruolo, P., Bréchet, T., Strobl, E., Guizzardi, D., Cerutti, A. K., & Andreea, I. (2018). Do voters support local commitments for climate change mitigation in Italy? Ecological Economics, 144, 27–35. https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2017.06.035

Migheli, M. (2022). Lost in election. How different electoral systems translate the voting gender gap into gender representation bias. International Review of Law and Economics, 71, 106082. https://doi.org/10.1016/j.irle.2022.106082

Mougin, E. (2024). TV in times of political uncertainty: Evidence from the 2017 elections in Kenya. Journal of Development Economics, 166, 103179. https://doi.org/10.1016/j.jdeveco.2023.103179

Palmer, H. D., & Whitten, G. D. (1999). The Electoral Impact of Unexpected Inflation and Economic Growth. British Journal of Political Science, 29(4), 623–639. http://www.jstor.org/stable/194241

Peveri, J., & Sangnier, M. (2023). Gender differences in re-contesting decisions: New evidence from French municipal elections. Journal of Economic Behavior and Organization, 214, 574–594. https://doi.org/10.1016/j.jebo.2023.06.022

Rienks, H. (2023). Corruption, scandals and incompetence: Do voters care? European Journal of Political Economy, 79, 102441. https://doi.org/10.1016/j.ejpoleco.2023.102441

Vivyan, N., Wagner, M., & Tarlov, J. (2012). Representative misconduct, voter perceptions and accountability: Evidence from the 2009 House of Commons expenses scandal. Electoral Studies, 31(4), 750–763. https://doi.org/10.1016/j.electstud.2012.06.010

Ward, G. (2019). Happiness and Voting: Evidence from Four Decades of Elections in Europe. American Journal of Political Science, 64(3), 504–518. https://doi.org/10.1111/ajps.12492

Wigginton, M., & Stockemer, D. (2021). The limits of the attractiveness premium in elections. Electoral Studies, 70, 102274. https://doi.org/10.1016/j.electstud.2020.102274

--

--