Love Hate Relationship: Understanding the Nexus between Middle Class Growth Population and Religion-Based Political Preferences

KANOPI FEB UI
9 min readSep 19, 2024

--

Judul Artikel : The Role of the 30% Threshold for Islamic Parties: A fast-Growing Middle Class and Religion-Based Political Preferences in Indonesia

Penulis : Dyah Margani Utami, Mohamad Ikhsan, Teguh Dartanto, Rizal Mallarangeng

Tahun Terbit : 2024

Jurnal : Heliyon

Diulas oleh : Muhammad Afnan Ahzami

Kelas Menengah Adalah Kunci!

Dari tahun 1967 hingga tahun 1998, Indonesia melewati tiga dekade pertumbuhan ekonomi yang stabil dan mengalami pengurangan angka kemiskinan secara signifikan. Menggunakan data dari BPS terkait angka kemiskinan ekstrem, Indonesia berhasil menurunkan tingkat masyarakat berpenghasilan sangat rendah dari 50,6% pada tahun 1970, menjadi 11,3% pada akhir tahun 1996. Sejak tahun 2003, ekonomi nasional berhasil meningkatkan rata-rata pertumbuhan dengan angka 5,5% secara stabil, yang mengindikasikan kuatnya daya tahan ekonomi di tengah badai dan krisis finansial, termasuk krisis ekonomi global 2008. Berbasiskan konsistensi pertumbuhan ekonomi dan kestabilan politik, Indonesia menjadi salah satu negara di Asia yang mengalami pertumbuhan populasi kelas menengah secara signifikan.

Mengambil data dari Susenas, populasi kelas menengah di Indonesia meningkat sebesar tiga kali lipat, dari 7% pada 2002, menjadi 23% pada 2018. Banyak peneliti menyebutkan bahwa kelas menengah memiliki peran yang sentral dalam membentuk kestabilan politik dan keberlangsungan ekonomi, hal ini ditengarai terjadi akibat kemampuan kelas menengah yang mampu memengaruhi kondisi makro ekonomi dengan besarnya jumlah populasi mereka. Jika menilik pada sejarah, Revolusi Prancis menjadi besar bukan karena gerakan masif oleh petani dan buruh, melainkan karena buah kemarahan dari terdampaknya kelas menengah. Hal yang sama terjadi juga pada Thailand pada tahun 2010 ketika terjadi kerusuhan antara kelas menengah dan militer bersama dengan masyarakat kelas atas. Pola dan peran kelas menengah dalam berpartisipasi pada pembentukan proses demokrasi yang baik merupakan satu siklus sejarah dan dapat diobservasi pada lebih dari 120 negara.

Mengurai Benang Merah: Antara Politik Identitas, Kelas Menengah, dan Modernisasi

Indonesia, sebagai negara multikultur yang mengayomi berbagai ras dan golongan, sebagaimana dicantumkan pada Pancasila, tidak menjamin pada pelaksanaan proses-proses elektoralnya bersih terhadap pratek politik identitas. Dalam kaitannya dengan demokrasi, hal ini dapat mengarah pada kualitas elektoral yang kurang baik dengan memenangkan calon yang populis dan meninggalkan lawan yang kalah dengan representasi yang kurang baik. Fenomena ini dapat dilihat pada akhir tahun 2016, yaitu ketika masyarakat membentuk “gerakan 212” sebagai manifestasi dari “pemilih muslim” dalam upayanya memprotes Basuki Tjahja Purnama sebagai calon gubernur DKI Jakarta.

Berdasarkan masifnya ekspansi penggunaan agama dalam menentukan preferensi arah politik, peneliti mengajukan ide bahwa determinan dan subjek utama yang menengarai orientasi agama dalam lanskap politik bukanlah masyarakat bawah, melainkan kelas menengah. Hal ini didukung oleh survei yang dilaksanakan oleh Alvara Research Center pada tahun 2016, yang menyatakan bahwa populasi kelas menengah muslim di Indonesia menjadi lebih percaya diri dalam mengekspresikan agama dan identitas sosial mereka pada ranah ekonomi maupun kultural.

Namun, hipotesa ini menjadi abstrak jika kita mengulas balik pemikiran ilmu sosial klasik, yang menyatakan bahwa agama secara tradisional merupakan fenomena “pra-modern”, dan memprediksi ketika masyarakat sudah termodernisasi, golongan agamis akan menghilang secara perlahan dan praktik politik menjadi lebih sekuler. Pada kenyataannya, modernisasi yang terjadi di Indonesia, dengan indikator meningkatnya jumlah kelas menengah atas keseluruhan populasi, urbanisasi, dan industrialisasi, tidak kunjung meniadakan preferensi agama dalam aspek politik dan ekonomi. Pasca reformasi, pertumbuhan partai-partai berbasiskan Islam, seperti PAN, PKB, maupun PKS justru terjadi, walaupun pemilih partai politik berbasiskan islam secara rata-rata mengalami penurunan.

Desekularisasi adalah ketika struktur sosial sebuah negara kembali pada preferensi yang cenderung konservatif sebagai basis dalam berperilaku (termasuk menjadikan agama sebagai alasan dalam praktik proses elektoral). Berdasarkan fenomena yang terjadi, apakah Indonesia sedang berada dalam proses desekularisasi, terkhusus pada peningkatan preferensi politik berbasiskan identitas agama? Apakah golongan kelas menengah menjadi determinan yang menengarai tren tersebut?

Hipotesis

  1. Daerah yang mengalami tingkat modernisasi yang tinggi dan proporsi kelas menengah yang besar, secara individu cenderung untuk memilih partai politik berbasiskan agama
  2. Individu cenderung untuk memilih partai yang berbasis agama di daerah yang memiliki proporsi muslim yang tinggi

Pelaksanaan Penelitian

  1. Sumber Data dan Sampel

Data primer diambil dari hasil pemilihan yang berasal dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), dikhususkan untuk pemilihan pada 2009, 2014, dan 2019. Data juga diambil dari Badan Pusat Statistik (BPS), yang menyediakan data demografis dan sosioekonomi para pemilih pada tahun-tahun tersebut. Berbeda dengan penelitian lain yang mengacu pada pemilihan nasional, peneliti justru memfokuskan studi pada pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat 2 (Kota/Kabupaten). Hal ini ditentukan karena DPRD tingkat 2 memiliki otonomi yang lebih besar dalam membentuk kondisi sosioekonomi masyarakat suatu daerah dan dapat menangkap gambaran besar perilaku pemilih secara lebih jelas.

Penelitian ini mengambil data dari 397 kota/kabupaten, kecuali daerah di bawah provinsi Aceh dan kota-kota dalam DKI Jakarta. Data populasi muslim pada suatu daerah diambil dari BPS, dan informasi terkait karakteristik dan kondisi sosioekonomi individu diambil dari Susenas, yang menyediakan 5 faktor berikut; 1) tingkat pengeluaran, 2) tingkat pendidikan tinggi, 3) lokasi tinggal (kota/desa), 4) akses internet, dan 5) pekerjaan utama anggota keluarga. Karena pemilihan legislatif dilaksanakan pada awal tahun, data-data ini merefleksikan kondisi pada tahun sebelumnya, yaitu 2008, 2013, dan 2018.

2. Spektrum dari partai besar di Indonesia

Peneliti mengkategorikan empat grup besar partai dalam kaitannya dengan komitmen dan ideologi partai yang mengarah pada pendirian negara berbasiskan islam. yaitu Islamis, Islam-inklusif, sekuler-inklusif, dan partai sekuler. Partai islamis menjadikan agama islam sebagai basis ideologi mereka, contoh dari partai dari golongan ini adalah PBB, PKS, dan PPP. Adapun partai islamis-inklusif merupakan golongan partai yang tidak menjadikan pendirian negara islam sebagai agenda mereka, tetapi masih menghimpun aspirasi masyarakat muslim. Contohnya adalah PKB dan PAN.

Gambar 1. The Spectrum of Major Parties in Indonesia

3. Ambang Batas Kelas Menengah

Berdasarkan data Indonesian Family Life Survey (IFLS), kelas menengah merupakan individu yang melakukan pengeluaran sebesar $5.5 sampai $15.5 PPP (Purchasing Power Parity). Jika diadaptasikan menggunakan Indeks Harga Konsumen, dihitung kelas menengah jika pengeluaran individu per bulan sebesar IDR 607.530–1.690.038 pada 2008, IDR 626,247–1.742.206 pada 2013, dan IDR 842.323–2.343.190 pada 2018.

4. Variabel yang Digunakan

Tabel 1. Deskripsi Variabel

  1. Variabel Independen:
  • Proporsi kelas menengah
  • Kuadrat dari proporsi kelas menengah
  • Proporsi populasi muslim pada suatu daerah
  • Interaksi antara proporsi kelas menengah dan proporsi populasi muslim (rasio kelas menengah terhadap populasi dikalikan dengan rasio populasi muslim terhadap populasi)
  • Proporsi tingkat pendidikan tinggi
  • Indeks gini
  • Pertumbuhan ekonomi (PDB per kapita)
  • Proporsi masyarakat urban
  • Proporsi pengguna internet
  • Proporsi pekerjaan pada sektor primer (pertambangan dan pertanian)
  1. Variabel Dependen
  • Proporsi pemilih partai islamis
  • Proporsi pemilih partai islamis dan islam-inklusif

Metode Penelitian

Guna mengontrol heterogenitas dari setiap individu, meningkatkan keakuratan data, meningkatkan variabilitas, mengurangi kolinearitas antara variabel, dan meningkatkan efisiensi, peneliti menggunakan panel data. metode fixed-effect digunakan untuk menganalisa panel data dikarenakan kemampuannya dalam mengurangi efek yang tidak terobservasi yang diasumsikan tetap antar waktu selagi tetap menangkap variasi waktu pada dependen dan independen variables di dalam setiap observasi cross-sectional.

Secara matematis, model regresi fixed-effect dapat dihitung dengan cara berikut:

SIVit = ∝i + β1SMcit + β2(SMCit) 2 + β3SMusit + β4(SMcit ∗ SMusit) + β5SEdit + β6Giit + β7Grit + β8Subit + β9Snetit + β10Sagrit + εit

SAVit = ∝i + β1SMcit + β2(SMCit) 2 + β3SMusit + β4(SMcit ∗ SMusit) + β5SEdit + β6Giit + β7Grit + β8Subit + β9Snetit + β10Sagrit + εit

Hasil Penelitian

Tabel 2. Estimates of The Significance of The Middle Class with Thresholds of $5.5–15.3 PPP per day to Share of The Middle Class

Hasil Penelitian

Jika melihat pada tabel 3 berdasarkan yang tertera pada artikel jurnal, kita dapat melihat bahwa variabel populasi kelas menengah (SMcit) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap baik itu pemilih pada partai islamis saja maupun partai islamis dan partai islam-inklusif. Hal yang sama juga terjadi pada variabel populasi kelas menengah kuadrat (SMCit)2. Adapun, penelitian ini berhasil menemukan hubungan negatif antara variabel populasi muslim (SMusit) dengan pemilih partai islam dan islam inklusif. Diasumsikan dalam kasus Indonesia mayoritas masyarakat muslim cenderung untuk memilih partai yang lebih sekuler dan nasionalis. Lalu, variabel rasio kelas menegah dibanding populasi muslim (SMcit ∗ SMusit) memiliki hubungan yang positif dan signifikan pada variabel dependen pemilih partai islamis saja.

Sedangkan, untuk variabel independen seperti tingkat penetrasi pendidikan tinggi, indeks gini, pertumbuhan ekonomi, dan populasi masyarakat urban terlihat tidak signifikan pengaruhnya, baik pada variabel pemilih partai islamis maupun partai islamis dan islam-inklusif. Adapun, alasan terjadinya hal ini akan dijelaskan selanjutnya. Lalu, untuk variabel penggunaan internet dan proporsi pekerjaan pada primary sector ternyata keduanya memiliki hubungan yang negatif dengan jumlah pemilih partai islamis dan islam-inklusif, walaupun yang signifikan hanya pada variabel proporsi pekerjaan pada primary sector saja.

Kurva U Terbalik dalam Hubungannya dengan Kelas Menengah dan Pemilih Partai Islam

Gambar 2. Kurva ini menunjukan hubungan antara proporsi kelas menengah dan proporsi pemilih partai islamis. Garis biru menggambarkan skenario ketika proporsi populasi muslim sebesar 10%, garis merah 70%, dan garis hijau 90%
Gambar 3. Kurva ini menunjukkan hubungan antara proporsi kelas menengah dan proporsi pemilih partai islamis dan islam-inklusif

Walaupun penelitian ini tidak menggambarkan hubungan kausalitas, penelitian ini menggambarkan model yang lebih akurat dibandingkan cross-sectional data saja. Penelitian ini mendemonstrasikan pernyataan bahwa dukungan terhadap partai berbasiskan islam cenderung bertambah ketika populasi kelas menengah meningkat. Namun, hal ini menjadi valid ketika proporsi kelas menengah berada di bawah angka 29% (untuk partai islam-inklusif) dan kurang dari 37% (untuk partai islamis dan islam-inklusif). Adapun, dengan melihat gambar inverted U curve di atas, dapat disimpulkan ketika proporsi kelas menengah melewati turning point 29% dan 37%, peningkatan proporsi kelas menengah berkorelasi secara negatif dengan pemilih partai islam.

Berdasarkan hal tersebut, hipotesis pertama peneliti dapat dikatakan benar dengan tren yang lebih spesifik. Di daerah yang lebih termodernisasi dimana proporsi kelas menengah lebih dari 40%, desekularisasi cenderung untuk menurun. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa preferensi politik berbasiskan agama di Indonesia yang cenderung mengikuti modernisasi berjalan bersamaan dengan desekularisasi pada batas tertentu. Menurut peneliti, terdapat 3 tanda bahwa Indonesia mengalami desekularisasi, yaitu 1) ekspresi publik terhadap identitas agama menjadi lebih umum, 2) identitas dan simbol agama menjadi penting bagi masyarakat dalam menilai para pejabat publik, 3) Research Center for the Study of Islam and Society (PPIM) pada 2007 menyatakan bahwa 41,7% muslim yang disurvei menyebutkan agama sebagai identitas utama mereka.

Mayoritas Variabel Indikator Sos2ioekonomi insignifikan dan Berkorelasi Negatif dengan Jumlah Pemilih

Pada variabel tingkat pendidikan tinggi, hasilnya menunjukkan insignifikan, hal ini berkaitan dengan bagaimana latar belakang pendidikan masyarakat tidak menjadi faktor utama dalam menentukan pemilih entah itu partai islamis maupun sekuler. Tingginya tingkat pendidikan sendiri diasosiasikan dengan peningkatan status sosial dan kesejahteraan. Adapun untuk variabel makroekonomi seperti PDB per kapita dan kesenjangan juga menunjukkan hasil yang tidak signifikan, diasumsikan akibat para pemilih partai islamis dan islam-inklusif dimotivasi oleh ide dan ideologi mereka, dibandingkan untuk menurunkan para pejabat publik inkumben.

Variabel urbanisasi juga dapat dikatakan tidak signifikan, melihat bagaimana perilaku perpindahan masyarakat tidak selalu linear dengan perubahan ideologi dan preferensi. Untuk variabel penggunaan akses internet sendiri peneliti mendapatkan hasil insignifikan, melihat bagaimana para pemilih partai islam tidak bergantung pada informasi yang beredar di internet dan media sosial.

Pada sektor pekerjaan, yaitu pada sektor pertanian dan pertambangan, variabel ini berkorelasi secara negatif dengan jumlah pemilih partai islam, mengingat bagaimana tingkat pendapatan yang rendah yang diklasifikasikan sebagai kelas bawah, cenderung untuk memilih partai sekuler (sebagai contoh: PDIP dengan semboyan wong cilik nya).

Kesimpulan:

Penelitian ini berhasil mengambil kesimpulan menarik terkait fenomena declining desecularisation yang ditandai dengan berkurangnya preferensi pemilih politik berbasiskan agama akibat meningkatnya proporsi kelas menengah. Pada daerah yang memiliki populasi kelas menengah yang rendah, peran agama di daerah tersebut menjadi kuat dengan permintaan agama untuk menjadi wadah redistribusi pendapatan dan harapan masyarakat untuk sistem yang lebih baik. Sedangkan, pada daerah yang telah termodernisasi dan memiliki proporsi kelas menengah yang lebih besar, masyarakat cenderung berpartisipasi pada pembangunan dengan cara-cara yang lebih rasional.

Pada penelitian ini ditemukan juga hubungan negatif antara proporsi masyarakat muslim dengan jumlah pemilih partai islam. Hal ini ditengarai dengan melihat kecenderungan masyarakat muslim Indonesia yang memiliki pemikiran yang lebih moderat, sehingga berakhir pada memilih partai yang cenderung sekuler, nasionalis, atau pancasilais.

Studi ini mendokumentasikan fenomena menarik di Indonesia. Menurut peneliti, 85% daerah dan kota di Indonesia telah melewati turning point dan cenderung menunjukkan pengurangan angka pada pemilih partai islam. Maka, dapat disimpulkan bahwa di Indonesia gerakan politik berdasarkan preferensi agama Islam masih memiliki perjalanan jauh untuk mengimplementasikan ide-ide tentang negara berbasiskan agama.

Review Pengulas:

Melihat hubungan antara populasi kelas menengah dan pemilih partai islam di Indonesia dengan bentuk inverted U curve, para elit partai islam dalam tujuannya menjaga popularitas partai, perlu memperbaiki strategi dan memposisikan ideologi partai di tengah fenomena declining desecularisation. Meningkatnya populasi kelas menengah menunjukan fenomena modernisasi yang dapat dilihat pada semakin efisiennya hubungan antar masyarakat. Akibatnya, masyarakat yang cenderung lebih rasional memilih untuk memisahkan hubungan antara tata kelola pemerintahan, aspirasi, dan harapan terhadap pemerintah, dengan kehidupan beragama sebagai bentuk ekspresi sosial.

Namun, jika kita berefleksi pada status quo, berdasarkan data Badan Pusat Statistika (BPS), populasi kelas menengah pada awal 2024 berjumlah 47,85 juta orang, atau setara 17,13% dari total populasi. Turunnya jumlah kelas menengah diasumsikan akibat adanya scarring effect pasca pandemi dan fenomena deindustrialisasi. Jika dilihat secara makro, angka proporsi kelas menengah Indonesia masih menunjukan hubungan yang positif dengan peningkatan pemilih partai berdasarkan preferensi agama, setidaknya dalam periode short-run.

--

--