Masih Adakah Bom Waktu di Pusat Segala Risiko?

KANOPI FEB UI
3 min readAug 27, 2021

--

Dokpri

Dari terdengar asing di telinga hingga mudah trending di media sosial, citra pasar modal Indonesia telah berubah drastis. Tak luput, hal ini datang beriringan dengan jumlah Single Investor Identification (SID) yang mencapai 9,3 juta. Jumlah ini sukses meroket lebih dari dua kali lipat sejak awal tahun 2021. Selain itu, ada pula banyak informasi unik lain yang bisa ditemui dari angka nan megah ini, mulai dari mendominasinya kaum milenial hingga rendahnya partisipasi perempuan di pasar modal tanah air.

Di balik itu semua, ada satu hal yang sebenarnya jauh lebih menonjol, setidaknya di mata penulis. Dari angka 9 jutaan itu, lebih dari 30% atau sekitar 3,91 juta SID berasal dari Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Badan ini bertugas untuk menghimpun dan menyediakan pembiayaan rumah terjangkau bagi masyarakat, persis sesuai namanya. Lantas apa yang menarik dari fakta yang sepertinya hanya sebatas angka ini?

Institusi Pemerintah dan Instrumen Investasi

Menjawab pertanyaan kita sebenarnya hanya membutuhkan dua frasa di atas. Tapera menjalankan uang yang dihimpun dari masyarakat untuk selanjutnya diinvestasikan ke dalam berbagai instrumen. Apa yang dilakukan Tapera mirip dengan kelakuan dua institusi besar serupa: Asabri dan Jiwasraya. Kedua institusi ini terkenal dengan kasus besar masing-masing, yang pada intinya dimotori oleh keberadaan sumber daya manusia (SDM) yang bobrok.

Kembali ke Tapera, dua kasus besar di atas tampak cukup menjadi pembelajaran untuk sang institusi. Hal ini terlihat dari upaya diversifikasi yang dilakukan oleh manajemen Tapera, mulai dari penyebaran instrumen hingga Manajer Investasi (MI), demi terhindar dari lubang serupa. Lebih lanjut, Deputi Komisioner Bidang Pemupukan Tapera Gatot Subadio merencanakan diversifikasi ke dalam tujuh MI dan turut menginvestasikan sebagian kecil dana kelolaan di saham bluechip.

Walaupun sang petinggi semakin disiplin dalam mengukur keamanan pengelolaan aset, pasti ada risiko yang tetap menyelimuti kebijakan yang dipilih sekarang. Pasalnya, kasus Asabri dan Jiwasraya sendiri bermula dari manajemen yang kacau balau. Keburukan di bidang manajemen ini pun sesungguhnya bukanlah hal baru dalam sejarah pasar modal.

Di Amerika Serikat selama tiga puluh tahun terakhir, desil kelompok reksadana tertinggi dan terendah mengalami perubahan volatilitas sebesar 6% (Huang et al., 2011). Fenomena tersebut lahir dari motif pribadi pengelola yang mengubah risiko reksadana melalui pengubahan komposisi penempatan. Hasilnya, performa reksadana yang mengalami perubahan risiko menjadi lebih buruk.

Selain masalah dari sisi manajemen SDM, risiko lain juga datang bersamaan dengan penambahan jutaan SID baru-baru ini. Menurut Antoswezki (2017) yang meneliti hedge fund di Amerika Serikat, penurunan batasan deposit awal pada instrumen tersebut meningkatkan risiko masyarakat berpenghasilan rendah terhadap risiko investasi di sana. Memang, hedge fund dan konteks Tapera tidak akan pernah menemui benang merah.

Akan tetapi, ketika Tapera memasukkan anggotanya ke dalam SID, siapa pun — baik yang memiliki wawasan investasi maupun tidak — juga bisa ikut terekspos kepada risiko apapun yang menanti. Mirisnya, hal ini seolah telah menjadi tren, terbukti dari ketimpangan antara literasi dan inklusi finansial di negeri ini. Pada 2019, inklusi keuangan Indonesia mencapai 76% di kala literasi keuangannya hanya mencapai 38%. Artinya, masih banyak masyarakat yang terlibat di dalam instrumen keuangan tetapi tidak tahu-menahu sama sekali tentang apa yang dibeli.

Melihat rekam jejak berbagai institusi sejenis di Indonesia, Tapera tetap terpapar terhadap risiko dengan dampak luar biasa. Oleh karena itu, institusi negara tersebut perlu melakukan perbaikan. Salah satu upayanya adalah dengan mengalokasikan dana investasi saham ke passive mutual fund seperti reksadana indeks.

Pilihan ini pun senantiasa bisa membantu untuk mengatasi dua masalah. Pertama, penempatan di reksadana yang pasif ini bisa menghindari penyelewengan oleh manajemen pengelola. Kedua, cara ini juga dapat meminimalkan trading cost dari perubahan komposisi investasi, yang pada akhirnya akan mengoptimalkan keuntungan institusi. Dari semua upaya investasi, inilah yang paling aman. Sebab, kepastian bahwa peserta tetap bisa memiliki tempat tinggal layak adalah prioritas utama.

Penutup

Bom waktu pasar modal memang nyata dengan berbagai celah untuk mengaktifkannya. Namun, sejarah kecerobohan berbagai institusi tidak perlu pengulangan. Keuntungan institusi dan hajat hidup nasabah pada dasarnya bukanlah hal yang saling bertentangan. Dengan kata lain, bom waktu tak boleh dinyalakan kembali.

Referensi tanpa Hyperlink

Antoszewski, M. (2006). Las Vegas Style Investing: In the Absence of Regulation, Risky Hedge Fund Bets Can Win Big and Lose Even More. Transactions: Tenn. J. Bus. L., 8, 381.

Huang, J., Sialm, C., & Zhang, H. (2011). Risk shifting and mutual fund performance. The Review of Financial Studies, 24(8), 2575–2616.

--

--

No responses yet