Mengurus Bayi atau Bekerja? Dilema Wanita Karier Negeri Tiongkok Akibat Perubahan Kebijakan Keluarga Berencana

KANOPI FEB UI
13 min readApr 25, 2024

--

Judul Artikel : Fertility and maternal labor supply: Evidence from the new two-child policies in urban China

Penulis : Xiaoyu Wu

Tahun Terbit : 2022

Jurnal : Journal of Comparative Economics

Diulas oleh Muhammad Ilham Pratama

Catatan Penulis :

Pertumbuhan penduduk yang ekspansif di Tiongkok pada abad ke-20 akhir mendorong pemerintah untuk mencari cara agar dapat menekan pertumbuhan penduduk. Pada akhir tahun 1970-an, melihat proyeksi penduduk Tiongkok yang akan mendekati 1 miliar jiwa, kepemimpinan Deng Xiaoping mulai memberikan pertimbangan serius untuk mengekang laju pertumbuhan penduduk dengan menetapkan kebijakan satu anak. Dalam periode 1979–2015 kebijakan satu anak merubah sudut pandang maupun kondisi sosial-ekonomi masyarakat Tiongkok khususnya dalam hal kelahiran. Akhirnya, setelah pertimbangan lebih lanjut, kebijakan satu anak (one child policy) berubah menjadi kebijakan dua anak (two child policy) mulai dari tahun 2016.

Perubahan kebijakan dari satu anak ke dua anak tentunya akan memengaruhi angka kelahiran di Tiongkok. Perubahan pada jumlah kelahiran juga akan memengaruhi kondisi sosial-ekonomi keluarga, terutama bagi ibu dengan satu anak yang tadinya bekerja. Apakah para ibu akan memilih untuk memiliki anak kedua? Bagaimana angka kelahiran tersebut berdampak kepada keputusan sang ibu untuk bekerja? Penelitian oleh Xiaoyu Wu pada tahun 2022 membahas hal tersebut pada artikel berjudul “Fertility and maternal labor supply: Evidence from the new two-child policies in urban China”

Latar Belakang :

Peningkatan status sosial-ekonomi bagi perempuan penting dilakukan untuk mengurangi kemiskinan, menunjang perkembangan anak, dan meningkatkan kesetaraan gender di negara berkembang. Kebijakan keluarga berencana (lewat pengendalian kelahiran) yang dimulai pada satu abad terakhir berkontribusi besar terhadap penurunan fertilitas dan juga peningkatan status ekonomi perempuan. Meskipun begitu, populasi usia tenaga kerja menyusut dengan cepat karena rendahnya tingkat kelahiran di negara maju dan berkembang. Di masa kini, pelonggaran kebijakan pengendalian kelahiran (birth-control) dan program pendorong kelahiran menjadi tren baru dalam kebijakan kependudukan.

Pada Negara Tiongkok, partisipasi angkatan kerja perempuan tergolong cukup tinggi dibandingkan sebagian besar negara maju dan berkembang lainnya. Ekonomi dengan perencanaan terpusat, meningkatnya kesetaraan gender, serta harapan agar semua orang dapat bekerja adalah alasan utama tingginya tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan di Tiongkok. Namun, pasokan tenaga kerja perempuan telah menurun di Tiongkok dalam tiga dekade terakhir.

Literatur terdahulu merangkum penyebab penurunan pasokan tenaga kerja perempuan di Tiongkok ke dalam beberapa faktor utama. Pertama, privatisasi sektor negara, PHK massal, dan urbanisasi dibawah perubahan ekonomi yang berorientasi pada pasar menyebabkan meningkatnya tingkat pengangguran dan menurunnya partisipasi angkatan kerja (Feng et al., 2017). Kedua, penurunan program penitipan anak yang didanai pemerintah membuat para ibu (dengan anak usia 0–6 tahun) yang bekerja sulit membagi waktu antara pekerjaan dan tanggung jawab keluarga (Du dan Dong, 2010). Ketiga, naiknya harga perumahan dan apresiasi kekayaan perumahan menyebabkan penurunan kemungkinan perempuan pemilik rumah untuk berpartisipasi dalam angkatan kerja (Fu et al., 2016; Li et al., 2020). Terakhir, norma sosial dan dan jenis kelamin anak memengaruhi keputusan perempuan untuk bekerja (Chen dan Ge, 2018; Wang, 2019).

Kebijakan keluarga berencana telah diterapkan secara serius di Tiongkok sejak tahun 1971 dan berhasil menurunkan angka kesuburan. Sementara itu, kebijakan satu anak (one child policy) baru mulai diberlakukan pada tahun 1979. Dalam pemberlakuannya, kebijakan ini sempat berubah dari tahun ke tahun dengan kelonggaran bagi pasangan untuk mempunyai 2 anak pada skenario tertentu. Barulah pada 2016 secara resmi, seluruh pasangan di Tiongkok diperbolehkan untuk memiliki 2 anak. Gejolak perubahan kebijakan tersebut tentunya menyebabkan dampak sosial, yang mana kenaikan kelahiran dalam waktu relatif singkat menyebabkan kebutuhan penitipan anak menjadi tinggi. Disisi lain, permintaan (demand) yang tinggi di waktu yang singkat membuat penawaran (supply) penitipan anak belum cukup untuk memenuhi permintaan yang ada. Sehingga, akan terjadi penurunan terhadap pasokan tenaga kerja ibu karena harus mengurus anak.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat melihat efek dari kebijakan dua anak yang baru terhadap jumlah anak yang dimiliki pasangan di Tiongkok dan pengaruhnya terhadap pasokan tenaga kerja ibu. Penelitian ini berkontribusi pada tiga rangkaian literatur. Pertama, identifikasi hubungan antara fertilitas dengan pasokan tenaga kerja. Kedua, bagaimana dampak kebijakan kependudukan memengaruhi perilaku ekonomi rumah tangga. Ketiga, pemahaman dibalik penurunan partisipasi angkatan kerja perempuan.

Perkembangan Kebijakan Keluarga Berencana di Tiongkok :

  • Pada 1979, diberlakukan kebijakan satu anak (one child policy) di Tiongkok.
  • Pada 1980, diberlakukan kebijakan satu setengah anak (one-and-a-half-child policy) di wilayah pedesaan yang memperbolehkan pasangan di pedesaan untuk memiliki anak kedua jika anak pertama perempuan.
  • Pada 1980-an sampai 1990-an, terjadi pelonggaran bertahap kebijakan satu anak (one child policy) dimana pasangan di perkotaan yang keduanya merupakan anak tunggal diperbolehkan untuk memiliki 2 anak (yang menyebar berangsur-angsur ke sebagian besar provinsi).
  • Pada 2013, terjadi pelonggaran kebijakan satu anak bagi pasangan yang salah satunya adalah anak tunggal, kini boleh memiliki 2 anak.
  • Pada 2016, seluruh pasangan diperbolehkan untuk memiliki 2 anak (universal)

Data dan Metodologi :

Data

Penelitian ini menggunakan data panel dari Survei Keuangan Rumah Tangga Tiongkok (CHFS) tahun 2011, 2013, 2015, dan 2017. Survei tersebut dilakukan di sebagian besar Provinsi Tiongkok setiap dua tahun dan mencakup periode sebelum dan sesudah penerapan kebijakan dua anak yang baru. Survei tersebut berisi informasi sosial-ekonomi dari rumah tangga nasional. Analisis dalam penelitian ini berfokus pada sampel perkotaan karena kondisi kebijakan dan pasar tenaga kerja pedesaan Tiongkok sangat berbeda.

Kebijakan Dua Anak yang Baru (new two child policy) mungkin mempunyai dampak yang terbatas terhadap perempuan yang sudah sangat tua karena kemampuan reproduksi mereka sangat rendah. Dalam sampel, sangat sedikit perempuan yang melahirkan anak kedua setelah usia 45 tahun. Oleh karena itu, dilakukan treatment mengikuti studi Aguero dan Marks (2011), yaitu pembatasan sampel pada perempuan berusia antara 18–45 tahun. Selain itu, kebijakan dari tahun 1980–2000an cenderung berubah-ubah dengan cakupan wilayah kecil. Karena data yang didapat sedikit dan tidak mempengaruhi Kebijakan Dua Anak yang Baru pada tahun 2010-an, peneliti tidak memasukkan hal tersebut dalam analisisnya.

Metodologi Estimasi

Untuk melihat dampak Kebijakan Dua Anak yang Baru (new two child policy) terhadap tingkat kesuburan dan pasokan tenaga kerja ibu peneliti menggunakan 2 persamaan untuk mengukur jumlah anak dan pasokan tenaga kerja ibu serta 2 metode regresi (OLS dan 2SLS).

Untuk menilai dampak kebijakan dari waktu ke waktu, digunakan persamaan pertama:

Persamaan pertama digunakan untuk melihat apakah jumlah anak (Child Number) sebagai variabel dependen dapat diestimasikan dengan beberapa variabel independen yaitu :

  • Eligible : menjelaskan apabila pasangan tersebut sudah memenuhi syarat atau belum untuk diperbolehkan memiliki anak kedua (0 apabila belum memenuhi syarat, 1 apabila sudah memenuhi syarat).
  • β₁ Eligible : persyaratan dimana salah satu pasangan adalah anak satu-satunya pada survei setelah tahun 2014.
  • β₂ Eligible : persyaratan dimana kedua pasangan tidak merupakan anak satu-satunya dalam survei tahun setelah 2016
  • β₃ Years : tahun setelah memenuhi syarat untuk memiliki anak kedua (tahun survei dikurangi tahun yang memenuhi syarat).
  • X : variabel kontrol berupa karakteristik tingkat individu dan rumah tangga seperti usia, usia pasangan, lama pendidikan, lama pendidikan pasangan, dan pendapatan per kapita rumah tangga.

Selanjutnya untuk melihat dampak dari jumlah anak terhadap pasokan tenaga kerja digunakan persamaan berikut :

Persamaan kedua digunakan untuk melihat dampak dari jumlah anak terhadap pasokan tenaga kerja (yit). Yit adalah indikator pasokan tenaga kerja yang bernilai 1 apabila individu tersebut memiliki pekerjaan, bekerja di pekerjaan musiman, atau tidak bisa menemukan pekerjaan pada tahun survei-t, dan 0 apabila berada di kondisi lain. Selain itu, peneliti melihat dampak efek extensive dan intensive margin dari pasar pasokan tenaga kerja. Extensive margin: apakah individu tersebut berpartisipasi di dalam pasar ketenagakerjaan pada tahun spesifik. Intensive margin: informasi terkait jumlah hari kerja dalam sebulan dan jam kerja harian dalam tahun survei-t.

Tabel 1 menjelaskan statistika deskriptif yang berisikan nilai rata-rata, standar deviasi (persebaran data), dan observasi sampel. Sekitar 10,8% sampel pasangan terdiri dari satu orang yang merupakan anak tunggal dan berkualifikasi untuk boleh memiliki 2 anak setelah 2014. 79,6% perempuan bekerja pada pasar tenaga kerja. Dari total wanita yang bekerja, rata rata perempuan bekerja 23,1 hari dalam sebulan dan bekerja 8,3 jam dalam sehari. Rata-rata, jumlah anak yang dimiliki 1 perempuan adalah 1,2 anak.

Data yang digunakan hanya mencakup periode 2011 sampai 2017, yaitu satu tahun setelah kebijakan dua anak yang baru. Wanita membutuhkan waktu untuk hamil dan melahirkan anak. Dampak dari kebijakan baru bersifat persisten dan bertahan lebih dari satu tahun. Meskipun peneliti mempunyai informasi untuk pasangan yang salah satu pasangannya adalah anak tunggal dan diperbolehkan memiliki anak kedua setelah tahun 2014, peneliti mungkin masih meremehkan dampak Kebijakan Dua Anak yang Baru terhadap kesuburan dan pasokan tenaga kerja ibu karena keterbatasan dari kebijakan dua anak yang baru.

Pengaruh dari kebijakan dua anak yang baru terhadap fertilitas :

Pengaruh dari kebijakan dua anak yang baru terhadap jumlah anak :

Pertama, peneliti mengestimasikan dampak dari Kebijakan Dua Anak Baru terhadap level kesuburan. Peneliti menggunakan jumlah anak yang dimiliki seorang perempuan sebagai indikator kesuburan. Hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwa dampak dari pemberlakuan kebijakan dua anak baru meningkatkan jumlah anak yang dimiliki pasangan sebesar 12% satu tahun setelah kebijakan diimplementasikan. Kebijakan ini signifikan meningkatkan level fertilitas di daerah perkotaan Tiongkok.

Pengaruh efek heterogen dari Kebijakan Dua Anak Baru

Efek heterogen (heterogeneous effect) mengacu pada perbedaan hasil antar unit yang dipelajari, singkatnya efek dari kebijakan dua anak baru mungkin berbeda antar tahun setelah kebijakan tersebut diterapkan. Perempuan memerlukan waktu untuk hamil dan melahirkan anak, terutama perempuan di usia 30-an. Hal ini karena efek dari kebijakan baru ini dapat menjadi lebih besar di tahun kedua atau ketiga dibanding tahun pertama. Peneliti menganalisis efek kebijakan baru ini antar tahun dan menemukan, tahun ketiga setelah terjadinya kebijakan jumlah anak yang dilahirkan akan naik 36%.

Selain itu, dilihat pula dampak kebijakan baru tersebut pada skenario lainnya. Hasilnya, dilihat dari urutan kelahiran anak, kemungkinan lahirnya anak pertama naik 6%, kemungkinan lahirnya anak kedua naik 7,7%, sedangkan tidak terjadi kenaikan kemungkinan untuk memiliki anak ketiga. Peningkatan kemungkinan lahirnya anak pertama ikut mengindikasikan bahwa kebijakan baru ini mendorong pasangan untuk memiliki anak. Selain itu, apabila anak pertama pasangan adalah perempuan, kemungkinan pasangan untuk memiliki anak kedua meningkat sebesar 15,5%.

Efek dari kebijakan dua anak baru mungkin bervariasi antar individu dengan umur, pendidikan, penghasilan, dan status rumah tangga yang berbeda. Oleh karena itu dilakukan penelitian untuk melihat dampak kebijakan di berbagai karakteristik individu. Hasilnya, Perempuan dengan usia muda (dibawah 35 tahun) akan lebih terkena dampak efek kebijakan baru. Perempuan dengan pendidikan lebih rendah akan lebih terkena dampak efek kebijakan baru. Individu dengan penghasilan lebih tinggi akan lebih terkena dampak efek kebijakan baru. Terakhir, rumah tangga agrikultur akan lebih terkena dampak efek kebijakan baru.

Pengaruh Kebijakan Dua Anak yang Baru terhadap pasokan tenaga kerja ibu

Pengaruh tingkat kesuburan terhadap pasokan tenaga kerja ibu

Selanjutnya dilihat pengaruh dari tingkat fertilitas terhadap partisipasi tenaga kerja ibu dengan hasil pada tabel diatas. Baris di bagian kiri menjelaskan variabel independen (number of children — having a child younger than 1), efek yang dipakai (Individual FE & Year FE), F-statistics, jumlah observasi, dan nilai R-Squared (seberapa besar model menggambarkan kondisi di dunia nyata). Sementara itu kolom di bagian atas menjelaskan model yang digunakan (OLS dan 2SLS).

Kolom 1 memperkirakan hasil dengan metode OLS (Ordinary Least Squared model), hasilnya tambahan jumlah anak menurunkan partisipasi kerja ibu sebesar 3,8%. Model OLS dinilai kurang tepat untuk menjelaskan kondisi yang terjadi, karena berkemungkinan terpengaruh endogeneity problem, yaitu hubungan timbal balik antar variabel fertilitas dan partisipasi tenaga kerja. Singkatnya, keputusan untuk memiliki anak dapat dipengaruhi oleh keputusan bekerja dan juga sebaliknya. Karena hal ini dapat membuat hasil menjadi tidak akurat maka digunakan model 2SLS.

Model 2SLS (Two-Stage Least Squares) menggunakan instrumental variable (IV) yang merupakan variabel eksternal yang tidak terikat langsung dengan variabel dependen (partisipasi tenaga kerja), tetapi terikat dengan variabel independen (fertilitas). Variabel instrumental yang digunakan adalah kondisi apakah seseorang sudah memenuhi syarat (eligible) untuk memiliki anak kedua berdasarkan kebijakan yang ada. Variabel instrumental memberikan gambaran tentang bagaimana kebijakan mempengaruhi jumlah anak seseorang yang kemudian mempengaruhi pasokan tenaga kerja ibu.

Singkatnya, variabel instrumental (yaitu syarat yang terpenuhi) mempengaruhi jumlah kelahiran (karena apabila syarat belum terpenuhi, pasangan belum boleh memiliki 2 anak), namun tidak mempengaruhi partisipasi tenaga kerja secara langsung. Lewat variabel instrumental ini, kita memisahkan bahwa perubahan partisipasi tenaga kerja ibu merupakan akibat dari perubahan jumlah angka kelahiran dan bukan karena variabel lain.

Selain model OLS dan 2SLS digunakan juga kontrol individual fixed effect dan year fixed effect. Kontrol fixed effect pada individu dan tahun digunakan untuk mengontrol variabel yang tidak teramati baik antar individu maupun antar tahun. Hasil dari kolom 1 dan 3 menunjukkan perbedaan besar hasil estimasi OLS dan 2SLS. Hasil OLS menunjukkan dampak negatif jumlah anak terhadap partisipasi tenaga kerja ibu lebih rendah dibandingkan dengan hasil dari 2SLS. Perbedaan besar ini menunjukkan bahwa model OLS kurang tepat untuk menggambarkan kondisi yang ada. Dengan menggunakan pendekatan instrumental variable (2SLS), kita dapat menilai efek sebab-akibat dengan lebih tepat dan menghindari estimasi yang terlalu rendah pada model OLS.

Masalah Estimasi Instrumental Variable

Penelitian ingin melihat bagaimana kebijakan dua anak yang baru akan mempengaruhi tingkat kesuburan (dicerminkan oleh jumlah anak yang dilahirkan) yang akan mempengaruhi pasokan tenaga kerja ibu. Namun, hasil yang didapat mungkin saja bias. Bisa jadi terdapat hal lain yang ditimbulkan oleh kebijakan dua anak yang bukan merupakan tingkat kesuburan dan akan mempengaruhi pasokan tenaga kerja ibu. Oleh karena itu digunakan instrumental variable dengan tujuan untuk melihat, apakah benar perubahan pasokan tenaga kerja ibu adalah akibat tingkat kesuburan yang berubah setelah penerapan kebijakan baru. Dalam penerapannya, terdapat dua masalah yang mungkin terjadi.

Masalah pertama, kebijakan dua anak yang baru mungkin memiliki dampak langsung kepada pasar tenaga kerja ibu lewat diskriminasi pekerja perempuan. Setelah kebijakan baru, para ibu yang bekerja, mungkin diharapkan untuk memiliki anak lagi dan mendapat diskriminasi di lingkungan pekerjaan. Oleh karena itu, dilakukan Blinder Oaxaca Decomposition untuk melihat apakah diskriminasi tersebut benar adanya. Hasilnya, peneliti tidak menemukan bukti peningkatan diskriminasi terhadap perempuan di pasar tenaga kerja akibat kebijakan dua anak yang baru.

Masalah kedua, pasokan tenaga kerja ibu yang berubah karena kebijakan baru mungkin dipengaruhi oleh status apakah calon ibu dari anak tersebut adalah anak tunggal atau bukan. Ibu yang merupakan anak tunggal mungkin mempunyai preferensi pekerjaan dan tingkat pendidikan yang berbeda dan mempengaruhi keputusannya di pasar pasokan tenaga kerja. Hasilnya, tidak ditemukan dampak signifikan apakah status orangtua, baik anak tunggal atau bukan berpengaruh terhadap partisipasi angkatan kerja dan lama bekerja, baik pada ibu maupun ayah.

Efek Heterogen Kelahiran

Peneliti melihat efek heterogen dari tingkat kesuburan terhadap pasokan tenaga kerja ibu. Pasokan tenaga kerja ibu juga dipengaruhi dari urutan kelahiran anak, yang mana lebih besar pada anak kedua dibanding anak pertama. Artinya, seorang ibu lebih besar kemungkinan untuk tidak bekerja setelah melahirkan anak kedua. Dari penelitian didapatkan hasil bahwa partisipasi tenaga kerja ibu akan menurun sebesar 22,3% setelah melahirkan. Meskipun begitu, partisipasi ibu dalam pasar tenaga kerja akan naik sebesar 7,5% setiap tahun setelah kelahiran.

Pasokan tenaga kerja ibu juga dipengaruhi oleh gender dari anak. Peneliti melihat hasil penelitian dan informasi terdahulu terkait “stigma gender anak” dan merangkumnya menjadi 4 poin. Pertama, anak laki-laki lebih lemah secara fisik. Kedua, anak laki-laki dianggap akan lebih memiliki peran untuk membantu orangtua kedepannya. Ketiga, anak laki-laki lebih memiliki bargaining power dalam keluarga. Keempat, anak laki laki akan lebih bertanggung jawab untuk menyediakan rumah dalam pernikahan.

Hal tersebut menyebabkan, apabila anak yang dilahirkan adalah laki-laki, tekanan sosial yang dihadapi oleh orangtua akan cenderung lebih besar. Meskipun efek dari jenis kelamin anak pada pasangan dengan anak tunggal masih belum jelas, penelitian menemukan korelasi antara jumlah hari kerja ibu dengan jenis kelamin anak untuk pasangan yang memiliki 2 anak. Penelitian mendapatkan hasil bahwa hari kerja ibu akan cenderung turun sebesar 6,1% apabila salah satu anak adalah laki-laki dan turun 10,4% apabila kedua anak adalah laki-laki.

Mengapa pasokan tenaga kerja ibu menurun ketika kesuburan meningkat?

Alasan mengapa pasokan tenaga kerja ibu menurun ketika kesuburan meningkat dijelaskan oleh beberapa studi terdahulu :

Pertama, ibu harus menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengurus anak karena usia kakek/nenek yang sudah tua, yang dulunya berperan penting dalam mengurus anak. Studi oleh Magaret et al., 2011 menjelaskan bahwa kehadiran kakek/nenek dalam rumah tangga akan meningkatkan angka partisipasi angkatan kerja ibu. Namun, situasi di Tiongkok adalah kebijakan tersebut mendorong ibu untuk memiliki anak kedua ketika usia kakek/nenek sudah lanjut, sehingga ibu harus mengurus anaknya sendiri.

Kedua, tempat penitipan anak yang disediakan oleh pemerintah Tiongkok untuk anak dibawah 3 tahun sangat jarang. Hanya 1,9% anak dibawah 3 tahun yang dirawat di tempat penitipan anak dan taman kanak-kanak.

Ketiga, biaya dari perawatan yang disediakan pengurus anak meningkat tajam beberapa tahun terakhir. Menurut data 2019, gaji untuk seorang baby-sitter di kota besar hampir setara dengan pendapatan lulusan baru perguruan tinggi dan lebih tinggi daripada pendapatan perkapita rata-rata penduduk perkotaan Tiongkok. Sehingga hanya 0,7% anak berusia dibawah 3 tahun yang diurus oleh baby-sitter.

Kesimpulan

Penelitian ini membahas bagaimana dampak dari Kebijakan Dua Anak Yang Baru pada Negara Tiongkok pada tahun 2010-an terhadap tingkat kesuburan dan pasokan tenaga kerja ibu. Hasilnya adalah :

  • Tingkat kesuburan meningkat secara signifikan setelah penerapan kebijakan dua anak yang baru.
  • Menggunakan kebijakan tersebut sebagai variabel dependen dalam melihat tingkat kesuburan, penelitian menemukan bahwa jumlah anak mengurangi pasokan tenaga kerja ibu. Dengan efek lebih besar pada anak kedua dan apabila jenis kelamin anak adalah laki-laki.
  • Sementara itu, pasokan tenaga kerja ayah tidak terpengaruh dan jumlah anak berhubungan positif terhadap jam kerja ayah.

Pada akhirnya, kebijakan yang baru diterapkan ini tentunya akan memiliki dampak besar pada aktivitas ekonomi individu dan rumah tangga. Hasil dari penelitian ini menjelaskan kemungkinan konsekuensi kebijakan terhadap perilaku terkait kelahiran dan pasokan tenaga kerja. Kurangnya layanan penitipan anak pra-sekolah di lembaga formal, bertambahnya usia kakek-nenek yang dulunya berperan penting dalam membesarkan anak, dan meningkatnya biaya pengasuh bayi mungkin menjadi alasan utama berkurangnya pasokan tenaga kerja ibu. Kebijakan di masa depan perlu lebih memperhatikan program pendukung seperti penyediaan layanan penitipan anak bagi anak di bawah usia tiga tahun oleh pemerintah.

Review Penulis :

Lewat penelitian ini didapatkan hasil bahwa perubahan kebijakan satu anak menjadi kebijakan dua anak merubah angka kesuburan dan kondisi pasar tenaga kerja ibu di Tiongkok. Angka kelahiran yang naik diiringi dengan partisipasi tenaga kerja ibu yang turun tentu nantinya akan merubah kondisi sosial-ekonomi pada negara Tiongkok. Disisi lain, bukan tanpa sebab perubahan kebijakan ini diubah, perubahan struktur piramida penduduk, ketidakseimbangan rasio jenis kelamin penduduk, maupun alasan lain mendorong perubahan kebijakan yang sebelumnya ditetapkan. Pada akhirnya, kebijakan baru yang ditetapkan diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup serta kesejahteraan masyarakat yang terdampak.

Rekomendasi Video Terkait :

Tertarik tentang kondisi di Tiongkok akibat kebijakan satu anak? Berikut beberapa rekomendasi video terkait dampak kebijakan satu anak di Negara Tiongkok :

  1. Jumlah penduduk yang turun, alasan mengapa populasi Tiongkok menurun: Why China’s population is shrinking
  2. Mengapa Tiongkok mengakhiri kebijakan satu anak?: Why China Ended its One-Child Policy
  3. Perjaka tua di Desa Tiongkok, dampak kebijakan keluarga berencana di Tiongkok: China’s Leftover Men: Desperately Seeking Wives

--

--