Stress in a Time of Scarcity: The Psychological Effects of Food Insecurity

KANOPI FEB UI
8 min readAug 15, 2024

--

Judul Artikel : The psychological toll of food insecurity

Penulis : Mo Allousha & Jeffrey R. Bloemb

Tahun Terbit : 2022

Jurnal : Journal of Economic Behavior and Organization

Diulas oleh Muhammad Ilham Pratama

Catatan Penulis :

Masalah terkait ketahanan pangan (food security) menjadi perbincangan luas di berbagai negara di dunia. The Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) mendeskripsikan kelaparan sebagai kondisi ketidaknyamanan atau menyakitkan yang disebabkan karena kurangnya konsumsi energi dari makanan. Kondisi kelaparan dapat berubah menjadi kondisi yang kronis dan berbahaya, apabila orang tersebut tidak mengkonsumsi jumlah kalori yang signifikan untuk memenuhi kebutuhan hariannya. Kekhawatiran akan ketahanan pangan bukanlah tanpa landasan, mengacu pada World Food Program, sebanyak 309 juta orang menghadapi kelaparan kronis di 71 negara.

Masalah akan kelaparan bukan hanya semata-mata memengaruhi kondisi fisik seseorang, seseorang yang mengalami kelaparan kronis tentunya tidak bisa berpikir jernih akibat ketidaknyamanan ataupun kesakitan yang diderita. Melihat hal tersebut, artikel jurnal oleh Allousha & Bloemb (2022) ingin membahas terkait dampak ketidakamanan pangan terhadap kondisi psikologis seseorang. Bagaimanakah hasilnya? Apakah kondisi kelaparan kronis menyebabkan perubahan kondisi psikologis seseorang?

Latar Belakang :

Teori ekonomi dan literatur terdahulu menemukan adanya hubungan kuat antara kondisi ekonomi seseorang dengan kondisi psikologis. Mengingat bahwa food insecurity (ketidakamanan pangan) lebih umum terjadi pada rumah tangga berpenghasilan rendah (Schanzenbach et al., 2016 & Coleman-Jensen et al., 2020), ketidakamanan pangan mungkin menjadi mekanisme yang memengaruhi kesejahteraan psikologis melalui kesejahteraan ekonomi. Studi terdahulu menemukan bahwa ketidakamanan pangan menyebabkan seseorang terperangkap kemiskinan akibat kurangnya nutrisi (Dasgupta dan Ray, 1986; Behrman & Deolalikar, 1987; Deaton & Dreze, 2009; Banerjee & Duflo, 2011; Schofield, 2014). Penurunan kesejahteraan psikologis dapat menyebabkan seseorang terperangkap pada kemiskinan secara terus menerus (Lybbert dan Wydick, 2018; Ridley et al., 2020; Haushofer, 2019; Alloush, 2022).

Penelitian ini menggunakan data survei rumah tangga miskin di Lebanon yang menerima voucer makan bulanan. Hasilnya, ketidakamanan pangan akut kemungkinan menyebabkan dampak psikologis yang penting. Setelah itu, peneliti mendokumentasikan beberapa perbedaan terkait kondisi psikologis rumah tangga yang memiliki ketidakamanan pangan tinggi dan tidak memiliki ketidakamanan pangan. Hasilnya, rumah tangga dengan ketidakamanan pangan tinggi mengalami gejala depresi, stres, dan pesimis yang lebih tinggi. Menggunakan regresi, peneliti menemukan bahwa ketidakamanan pangan akut berkaitan dengan peningkatan gangguan psikologis bahkan setelah menambahkan variabel kontrol. Selain itu, ketidakamanan pangkan meningkat seiring dengan berlalunya hari penerimaan voucer makanan.

Pada semua model regresi, ketidakamanan pangan akut meningkatkan kemungkinan seseorang mengalami gangguan psikologis. Setelah ditambah variabel kontrol, ketidakamanan pangan akut berkorelasi dengan kemungkinan peningkatan gejala depresi sebesar 20%.

Penelitian ini berbeda dari penelitian terdahulu pada 3 poin utama :

  1. Penelitian ini fokus pada analisis tingkat ketidakamanan pangan khusus (tingkat ketidakamanan pangan akut), yang memiliki dampak psikologis kritis.
  2. Penelitian ini menggunakan berbagai metode estimasi dan regresi untuk melihat efek ketidakamanan pangan terhadap gangguan psikologis. Hasil yang signifikan di berbagai model menunjukan bahwa hubungan ketidakamanan pangan dan gangguan psikologis benar adanya.
  3. Penelitian ini menggunakan konteks program voucer makanan dan menambah literatur terkait dampak program voucer pangan di negara non-barat.

Pengaturan Studi dan Kerangka Empiris

Penelitian ini menggunakan data survei evaluasi dampak program percontohan pengentasan kemiskinan di Lebanon. Walaupun program ini tidak jadi dilaksanakan (karena alasan tertentu), tetapi data hasil survei sebelum program dilakukan telah lengkap. Program ini pada awalnya menargetkan masyarakat dengan kemiskinan ekstrem di Lebanon dengan sampel dari 10.000 rumah tangga termiskin (didapat dari data Program Penargetan Kemiskinan Nasional)

Melihat peningkatan kemiskinan pada banyak rumah tangga di Lebanon, pemerintah memperluas program pemberian voucer makanan bulanan sebesar 100.000 LBP per kapita untuk 6 anggota per rumah tangga. Sama dengan program pemberian voucer makanan di Amerika Serikat, voucer yang diberikan pemerintah Lebanon juga berbentuk kartu yang hanya bisa digunakan untuk membeli makanan.

Data dan Metodologi

Survei mencakup kuesioner tingkat rumah tangga dan individu. Kuesioner tingkat rumah tangga mencakup pertanyaan terkait kondisi sosial-ekonomi (pendapatan, pengeluaran, aset, dan ketahanan pangan). Sedangkan kuesioner individu mencakup pertanyaan karakteristik kesehatan individu, pekerjaan, pendidikan, dan hal lainnya. Dari 1350 rumah tangga yang dipilih acak dan diwawancara, peneliti mengambil 1409 sampel individu dari 1124 sampel rumah tangga.

Kuesioner tingkat rumah tangga dan tingkat individu sebagian besar dijawab oleh individu yang berbeda dalam rumah tangga yang sama. Hal ini membantu peneliti mengatasi kekhawatiran terkait bias yang mungkin terjadi. Peneliti menggunakan sejumlah variabel berbeda yang mewakili komponen berbeda untuk mengukur kondisi tekanan psikologis sampel.

Mengukur tingkat stres & depresi :

Pertama, peneliti menggunakan skala Center for Epidemiologic Studies of Depression (CES-D) untuk mengukur gejala depresi. Skala CES-D adalah ukuran yang banyak digunakan untuk menyaring depresi dalam suatu populasi. Skala CES-D dirancang untuk mengukur keadaan psikologis yang relatif bervariasi dan biasanya digunakan untuk menilai konsekuensi kesehatan mental dari perubahan tingkat sosial-ekonomi.

CES-D diwakili dalam dua cara. Cara yang pertama, peneliti menggunakan skala CES-D penuh, dengan interpretasi “skor CES-D yang lebih rendah menunjukkan lebih sedikit gejala depresi”. Hasilnya, perbandingan antara rata-rata skor CES-D sampel penelitian dengan rata-rata skor CES-D penduduk Lebanon dan negara lain sangat jauh. Berarti, sampel penelitian mengalami depresi yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan wilayah lainnya.

Pada ukuran kedua, peneliti menggunakan CES-D sebagai variabel biner (“Ya” jika skor di atas 13, “Tidak” jika skor di bawah 13) dengan maksud mengkategorikan sampel yang masuk dalam kategori mengalami depresi berat atau tidak mengalami depresi berat. Hasilnya, mayoritas sampel penelitian dikategorikan memiliki depresi berat. Hasil lain dari pengukuran lewat skala CES-D ini adalah terjadi penurunan skor CES-D seiring dengan peningkatan pendapatan rumah tangga.

Kedua, peneliti juga menggunakan skala pengukuran stres Cohen untuk mengukur tekanan psikologis. Pengukuran ini dilakukan lewat 14 pertanyaan yang mengukur perasaan dan pemikiran responden. Metode kedua bertujuan untuk membandingkan keadaan tiap sampel(untuk melihat mana orang dengan skala stres yang lebih tinggi).

Ketiga, tes orientasi hidup yang terdiri dari 12 pertanyaan untuk mengukur tingkat optimisme individu terhadap kehidupan. Tes ini bertujuan untuk mengukur seberapa besar sampel percaya (optimis) terhadap perubahan yang ia lakukan di dalam kehidupannya sendiri. Skor yang rendah menunjukkan responden memiliki pandangan pesimis terhadap kehidupan dan sebaliknya.

Mengukur tingkat ketahanan pangan :

Kondisi ketidakamanan pangan diukur dengan 2 pertanyaan survei :

  1. Pertanyaan apakah ada salah seorang anggota keluarga yang setidaknya melewatkan satu kali makan dalam 30 hari terakhir
  2. Bagi rumah tangga yang menjawab “Ya” pada pertanyaan pertama, diberikan pertanyaan apakah keluarga tersebut tidak memiliki cukup makan untuk hari berikutnya

Hasilnya, 25% rumah tangga menjawab “Ya” pada pertanyaan pertama dan 8% rumah tangga di dalamnya menjawab “Ya” pada pertanyaan kedua.

Tabel 1 menjelaskan beberapa poin perbandingan antara rumah tangga dengan ketidakamanan pangan akut (acute food insecurity) dan rumah tangga dengan ketidakamanan pangan biasa (food insecurity). Pertama, rumah tangga dengan ketidakamanan pangan akut memiliki penghasilan yang lebih rendah dan tingkat pengangguran lebih tinggi daripada rumah tangga lainnya. Kedua, rata-rata pengeluaran makanan untuk rumah tangga dengan ketidakamanan pangan akut relatif sama dengan rumah tangga lainnya. Ketiga, rumah tangga dengan ketidakamanan pangan akut memiliki skor rata-rata CES-D lebih besar 3 poin dan 30% lebih mungkin mengalami depresi tinggi dibanding rumah tangga lainnya. Keempat, rumah tangga dengan ketidakamanan pangan akut mengalami tekanan psikologis yang lebih tinggi dibanding rumah tangga lainnya.

Metode Estimasi :

Peneliti menyadari jika terdapat kemungkinan bahwa perbedaan yang diamati dalam ukuran tekanan psikologis antar individu dengan acute food insecurity dan food insecurity kemungkinan tidak mewakili efek sebab akibat karena beberapa hal.

Pertama, waktu survei dapat menyebabkan responden melaporkan ketidakamanan pangan akut maupun tekanan psikologis. Pada akhir bulan, responden lebih mungkin untuk melaporkan ketidakamanan pangan karena voucer makanan dari pemerintah telah habis digunakan.

Kedua, perbedaan tempat tinggal pada lokasi geografis tertentu. Lokasi geografis mungkin memengaruhi tekanan psikologis serta kondisi ketidakamanan pangan.

Ketiga, faktor lain dengan variasi waktu dan ruang misalnya karakteristik demografis, kondisi pekerjaan, dan pendapatan.

Keempat, masalah reverse causality, “Apakah kondisi acute food insecurity yang memengaruhi tekanan psikologis atau tekanan psikologis memengaruhi acute food insecurity?”

Untuk mengatasi hal tersebut dilakukan kontrol terhadap variabel yang dapat memengaruhi hasil estimasi. Setelah itu, didapatkan bentuk OLS yaitu :

PDi,h,r,t : ukuran tekanan psikologis untuk individu i pada rumah tangga h di kota r pada waktu t

FIh,r,t : indikator yang mengukur ketidakamanan pangan akut

Xi,h,r,t : vektor karakteristik individu dan rumah tangga yang bervariasi antar waktu

R : vektor yang mewakili efek tetap kota

: vektor yang mewakili efek tetap bulan dan hari wawancara

ui,h,r,t : standar error

Masalah yang dapat disebabkan oleh waktu pengambilan survei dan faktor lain yang memengaruhi kondisi psikologis seseorang (selain food insecurity) diatasi dengan memasukkan variabel kontrol. Masalah reverse causality diselesaikan dengan melakukan desain pengambilan data yang berbeda. Singkatnya, responden yang mengisi kuesioner tingkat kondisi psikologis, tidak mengisi kuesioner yang mengukur food insecurity. Jadi, kuesioner food insecurity diisi oleh responden yang berbeda dengan asumsi, seseorang yang tinggal di rumah tangga yang sama akan mengalami food insecurity yang sama.

Terakhir, untuk mengatasi bias yang masih mungkin terjadi digunakan Instrumental Variable. Instrumental Variable digunakan untuk memastikan bahwa hal yang memengaruhi kondisi psikologis seseorang (dalam penelitian ini) hanya disebabkan oleh food insecurity dan variabel kontrol lainnya, bukannya hal lain di luar model misalnya waktu survei. Penggunaan Instrumental Variable mengasumsikan bahwa waktu survei hanya memengaruhi stres psikologis jika orang tersebut sedang kekurangan makanan karena mereka belum menerima kupon makanan, bukan karena hal lainnya.

Hasil Grafis :

Hasil grafis fokus untuk menjelaskan dua temuan. Temuan pertama menunjukkan bahwa probabilitas seseorang mengalami acute food insecurity akan meningkat seiring dengan jumlah hari yang terlewati sejak menerima bantuan voucer makanan. Temuan kedua menunjukkan bahwa nilai tingkat stres psikologis responden (CES-D, Skala Cohen, Tes Orientasi Kehidupan) meningkat seiring dengan jumlah hari yang terlewati sejak responden menerima bantuan voucer makanan.

Hasil Regresi :

Selanjutnya, peneliti memperlihatkan berbagai hasil regresi yang dilakukan terhadap variabel independen yaitu kondisi psikologis (tingkat stres) dengan 5 jenis yang berbeda. Selanjutnya, peneliti juga melakukan berbagai kontrol di tiap regresi :

  1. Panel A menggunakan bivariate regression, dengan hanya meregresikan 2 variabel, variabel dependen yaitu kondisi psikologis dan variabel independen yaitu kondisi acute food insecurity. Hasilnya: acute food insecurity signifikan berkorelasi dengan kenaikan tingkat stres.
  2. Panel B memperhitungkan faktor lain yang dapat memengaruhi regresi yaitu variasi waktu dan tempat tinggal responden sebagai fixed effect. Hasilnya: acute food insecurity masih signifikan berkorelasi dengan kenaikan tingkat stres, hanya saja koefisiennya berkurang setengahnya.
  3. Panel C memasukkan variabel kontrol lainnya seperti efek tetap kota, bulan, hari wawancara, karakteristik responden, dan lainnya. Hasilnya: terjadi perubahan kecil pada nilai koefisien acute food insecurity terhadap kenaikan tingkat stres (hasil masih tetap signifikan).
  4. Panel D menggunakan Oster’s Delta untuk melihat bagaimana pengaruh variabel lain yang tidak teramati memengaruhi temuan penelitian yang dilakukan. (Baca paper untuk penjelasan lebih lanjut)

Terakhir, hasil dari penggunaan Instrumental Variable menemukan bahwa food insecurity dan tingkat tekanan psikologis sama-sama meningkat seiring dengan hari setelah rumah tangga tersebut menerima voucer makanan.

Kesimpulan :

Pada kasus penduduk miskin di Lebanon, penelitian ini menemukan bahwa masyarakat dengan acute food insecurity memiliki kemungkinan untuk membawa konsekuensi psikologis yang penting. Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya efek psikologis yang mendorong kemiskinan terjadi secara terus-menerus serta mendukung literatur terdahulu terkait perangkap kemiskinan akibat malnutrisi dapat memengaruhi gaji seseorang karena kurangnya asupan nutrisi untuk melakukan pekerjaan terkait. Temuan inti yang didapat adalah penderita acute food insecurity menghadapi konsekuensi dalam hal psikologis yang akhirnya membuat keluar dari garis kemiskinan menjadi lebih sulit.

--

--