“The Obsessed Artist” Phenomenon:
Is obsessive passion the key to success?

KANOPI FEB UI
13 min readNov 16, 2023
source. dokpri

Judul Artikel: Lay theories of obsessive passion and performance; It all depends on the bottom line
Penulis: Benjamin J.I. Schellenberg, Patrick Gaudreau, Daniel S. Bailis
Tahun Terbit: 2022
Jurnal: Personality and Individual
Differences
Diulas oleh: Grace Reinhard

Latar Belakang

Pemenuhan potensi diri dari seorang pekerja seringkali melibatkan pengorbanan yang tidak terhindarkan. Ketika dihadapkan dengan sebuah pekerjaan, sejauh mana hasrat yang dimiliki seorang pekerja akan mendorongnya untuk menyelesaikan kewajibannya? Passion atau gairah dapat menjadi salah satu determinan mentalitas seorang pekerja dalam menghadapi pekerjaannya tersebut. Ketika membicarakan tentang passion, setiap anggota masyarakat memiliki kepercayaannya masing-masing tentang cara terbaik untuk mengejar tujuan mereka (Dweck & Leggett, 1988; Molden & Dweck, 2006; Zedelius et al., 2017). Secara garis besar, banyak penelitian sejauh ini telah mengungkapkan bahwa setiap anggota masyarakat dapat memiliki kepercayaan yang berbeda terkait passion dan hubungannya terhadap harapan, keputusan, dan motivasi seseorang.

Vallerand et al. (2003) menciptakan the dualistic model of passion yang membagi passion menjadi harmonious passion dan obsessive passion. Harmonious passion (HP) muncul ketika seseorang memiliki tekad pribadi dan merasa bahwa aktivitas yang dikejarnya memiliki nilai serta tujuan yang kongruen dengan dirinya (work-life balance mindset). Di sisi lain, obsessive passion (OP) muncul ketika seseorang memiliki ketergantungan terhadap aktivitas yang dikejarnya, sehingga tindakan yang ia lakukan akan lebih terkontrol (work-above-anything-else mindset). Dalam dunia kerja, HP dan OP kerap diasosiasikan dengan dua hasil yang berbeda. HP memprediksikan hasil kerja yang lebih adaptif, seperti kepuasan kerja yang lebih tinggi, sedangkan OP seringkali dikaitkan dengan hasil kerja yang tidak sesuai, seperti distres psikologis, kejenuhan kerja, dan konflik antara pekerjaan dan kehidupan (Curran et al., 2015; Vallerand, 2015). Terlepas dari fakta ini, dihipotesiskan bahwa masyarakat tetap memiliki kepercayaan bahwa OP merupakan kunci penting dari kesuksesan di dunia kerja. Penelitian ini ingin menganalisis sejauh mana masyarakat percaya bahwa OP dibutuhkan dalam dunia kerja. Selain itu, penelitian ini juga ingin memahami faktor-faktor yang membuat keyakinan terhadap OP bertahan di dunia kerja walaupun masyarakat umum memiliki pengetahuan mengenai dampak samping yang mengikutinya.

Bottom line mentality (BLM) menjadi salah satu fondasi teori yang penting dalam penelitian ini. BLM didefinisikan sebagai pemikiran satu dimensi yang memfokuskan segala kegiatan pada satu hasil akhir dan mengabaikan prioritas-prioritas lainnya (Greenbaum et al., 2012, hlm. 344). Keyakinan masyarakat akan pentingnya OP di dunia kerja dapat sangat dipengaruhi oleh tuntutan pekerjaan tersebut. Banyak orang mungkin percaya bahwa mindset “all or nothing” dalam OP akan menjadi sebuah keuntungan di lingkungan kerja yang berfokus pada suatu tujuan tertentu, seperti keuntungan, produktivitas, dan performa kerja. Walaupun BLM tidak diasosiasikan sebagai pola pikir yang buruk, dampak dari mentalitas ini dapat memicu aktivitas pencapaian tujuan dengan cara apa pun yang diperlukan, termasuk mengabaikan etika, mengambil jalan pintas, memilih solusi instan, dan perilaku non-etis lainnya (Bonner et al., 2017; Greenbaum et al., 2012; Wolfe, 1988). Seberapa dalam seorang pekerja mengadopsi pola pikir BLM berkaitan erat dengan nilai dan prinsip yang dimiliki oleh atasan/supervisor di lingkungan kerja tersebut. Masyarakat cenderung percaya bahwa OP akan membawa kesuksesan bagi seorang pekerja yang bekerja untuk supervisor yang menganut pola pikir BLM. Dari tiga studi tersebut, muncul beberapa research questions yang menjadi fondasi dari penelitian ini, yaitu:

  1. Sejauh mana masyarakat percaya bahwa obsessive passion (OP) dibutuhkan dalam dunia kerja?
  2. Apa saja faktor yang dapat menjelaskan mengapa keyakinan terhadap obsessive passion (OP) bertahan di dunia kerja, meskipun masyarakat umum memiliki pengetahuan mengenai dampak samping yang mengikutinya?

Studi 1: Menilai signifikansi obsessive passion dari perspektif orang lain (seorang HR manager)
Data dan Metodologi:

  1. Data
    Dalam studi 1 ini, peneliti mengumpulkan 138 responden (71 perempuan dan 67 laki-laki) berusia 18 sampai 63 tahun (rata-rata = 34.67 tahun, standar deviasi = 10,64 tahun) yang diambil dari Prolific Academic (www.prolific.co) untuk mengisi survei online berisikan sebuah skenario dan beberapa pertanyaan terkait.
  2. Metodologi

A. Pemberian skenario
Responden membayangkan dirinya sebagai sebuah manajer sumber daya manusia di sebuah perusahaan yang sedang membuka lowongan pekerjaan. Dalam proses perekrutan karyawan baru, peserta akan meninjau kuesioner kepribadian yang sudah diisi oleh empat calon karyawan dan menentukan kandidat mana yang paling cocok untuk mengisi beberapa jenis posisi yang dibutuhkan perusahaan.

B. Alat pengukuran: The Passion Scale

  • The Passion Scale merupakan kuesioner kepribadian yang dipakai untuk mengukur tingkat passion empat calon kandidat karyawan.
  • Berskala 1 (sangat tidak setuju) hingga 7 (sangat setuju) dan merujuk pada kategori “pekerjaan”.
  • Terdiri dari enam pertanyaan yang menjelaskan HP, enam pertanyaan yang menjelaskan OP, dan lima pertanyaan yang menjelaskan kriteria passion.

C. Empat kandidat karyawan

  • Kandidat 1: Calon karyawan dengan harmonious passion.
  • Kandidat 2: Calon karyawan dengan obsessive passion.
  • Kandidat 3: Calon karyawan dengan mixed passion.
  • Kandidat 4: Calon karyawan tanpa passion (non-passionate).

E. Skala penilaian responden

  • Peserta akan menilai seberapa baik keempat kandidat bekerja di berbagai lingkungan kerja.
  • Berskala 1 (sangat tidak setuju) hingga 7 (sangat setuju).
  • Terdiri dari 19 unit pertanyaan yang menjelaskan tentang tekanan kerja, persaingan, keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, dan bottom-line mentalities dari supervisor.

E. Analisis data
Penelitian di studi 1 ini menggunakan analisis repeated measures ANOVA untuk menguji hubungan antara berbagai jenis level passion dengan perkiraan hasil kerja di lingkungan kerja dengan bottom-line mentality. Selain itu, analisis repeated measures ANOVA juga dilakukan untuk melakukan manipulation check yang menguji apakah kandidat-kandidat dinilai memiliki tingkat passion yang berbeda. Ketika sphericity (asumsi bahwa varians perbedaan antara semua kombinasi grup adalah sama) tidak dapat dipenuhi, penelitian menggunakan Greenhouse-Geisser adjustment untuk menginterpretasi hasil.

Hasil Penelitian:

Tabel 1. Perkiraan kinerja kerja karyawan berdasarkan Passion Scales

Saat melakukan analisis repeated measures ANOVA di studi 1, peneliti melakukan dua tahap prosedur:

  1. Manipulation check

Studi dimulai dengan melakukan manipulation check terlebih dahulu yang bertujuan untuk melihat apakah keempat kandidat dinilai memiliki tingkat passion yang berbeda oleh para responden yang berperan sebagai HR manager. Terdapat beberapa pertanyaan manipulasi untuk menguji bahwa responden memiliki perspektif yang benar mengenai kandidat yang mereka nilai. Pertanyaan manipulasi ini berisikan tingkat passion para kandidat; (1) kandidat memiliki passion terhadap pekerjaan, (2) kandidat memiliki passion namun tidak meninggalkan prioritas-prioritas lain dalam hidupnya, dan (3) kandidat memiliki passion secara obsesif. Berdasarkan hasil manipulation check pada Tabel 1, dapat disimpulkan bahwa responden memiliki pemahaman yang cukup mengenai perbedaan tingkat passion keempat kandidat.

  1. Analisis utama

Analisis utama dari studi 1 ini ingin menguji sebuah hipotesis, yaitu:
H1: Perkiraan keberhasilan kerja akan lebih tinggi untuk kandidat yang memiliki OP dibandingkan kandidat yang memiliki HP di bawah supervisor yang menganut BLM.

Dari Tabel 1, hasil dari repeated measures ANOVA direpresentasikan dengan model F (2.71, 371.21) = 194.35, p < .001, ηp² = 0.59. Nilai F 194.35 menunjukkan perbedaan yang signifikan antara rata-rata kelompok terkait. Selanjutnya, p-value yang kurang dari .001 dan ukuran efek sebesar 0,59 menunjukkan bahwa variabel independen menjelaskan 59% dari varians dalam variabel dependen. Dari hasil Tabel 1 di atas, kita juga dapat melihat bahwa estimasi kesuksesan kerja kandidat dengan OP (rata-rata = 4.52, standar deviasi = 1.51) lebih besar dibandingkan estimasi kesuksesan kerja kandidat dengan HP (rata-rata =3.76, standar deviasi = 1.47). Selain itu, hasil analisis juga menunjukkan bahwa kandidat dengan mixed passion (rata-rata = 5.19, standar deviasi = 1.32) memiliki estimasi kesuksesan kerja paling tinggi, sedangkan kandidat yang non-passionate (rata-rata = 1.73, standar deviasi = 1.06) memiliki estimasi kesuksesan kerja paling rendah.

Hasil ini memvalidasi hipotesis awal dimana perkiraan keberhasilan kerja akan lebih tinggi untuk kandidat yang memiliki OP dibandingkan kandidat yang memiliki HP di bawah supervisor yang menganut BLM. Walaupun demikian, estimasi kesuksesan kerja paling tinggi didapatkan oleh kandidat dengan mixed passion yang dapat menggabungkan OP dan HP di dunia kerja. Kandidat yang non-passionate diestimasikan memiliki tingkat kesuksesan kerja yang kecil. Namun, bagaimana kinerja kandidat OP dan HP di lingkungan kerja yang tidak menganut BLM? Studi 2 akan menganalisis skenario tersebut.

Studi 2: Menilai signifikansi obsessive passion dalam cara diri sendiri dan orang lain menampilkan diri

Data dan Metodologi:

  1. Data:
    Dalam studi 2, dikumpulkan 355 mahasiswa tingkat sarjana (278 perempuan dan 77 laki-laki) berusia 14 sampai 40 tahun (rata-rata = 19.17 tahun, standar deviasi = 3.15 tahun) yang diambil dari mahasiswa yang mengikuti kursus psikologi di sebuah kampus.
  2. Metodologi:

A. Dalam studi 2, responden dibagi menjadi dua kelompok dengan dua skenario yang berbeda.
Kelompok 1 (other version) — Skenario 1:
Dalam skenario ini, 181 responden yang dipilih secara acak akan mengisi survei tentang bagaimana orang lain harus menampilkan dirinya di lingkungan kerja. Kelompok 1 kemudian dibagi lagi menjadi Kelompok 1A (88 responden yang ditetapkan di BLM condition) dan 1B (93 responden yang ditetapkan di control condition). Mereka mendapatkan skenario yang berbunyi:
“Bayangkan sebuah perusahaan ingin mempromosikan seorang karyawan. Banyak karyawan menginginkan promosi tersebut karena itu akan menjadi peluang karir yang bagus. Karyawan yang mendapatkan promosi akan bekerja untuk supervisor baru. Supervisor baru yang akan bekerja dengan karyawan yang dipromosikan hanya memprioritaskan bisnis, keuntungan, dan produktivitas di atas segala hal, termasuk kesejahteraan karyawan.
Kelompok 1A akan mendapatkan deskripsi situasi dimana karyawan akan bekerja untuk supervisor BLM, sedangkan kelompok 1B tidak akan melihat deskripsi tersebut.

Kelompok 2 (self version) — Skenario 2:
Dalam skenario ini, 174 responden yang dipilih secara acak akan mengisi survei tentang bagaimana ia harus menampilkan dirinya sendiri di lingkungan kerja. Kelompok 2 kemudian akan turut dipecah menjadi Kelompok 2A (90 responden yang ditetapkan di BLM condition) dan 2B (84 responden yang ditetapkan di control condition). Mereka mendapatkan skenario yang berbunyi:
“Bayangkan Anda bekerja di sebuah perusahaan dan telah mengajukan lamaran promosi. Anda benar-benar menginginkan promosi ini karena ini akan menjadi peluang karir yang luar biasa. Jika Anda mendapatkan promosi, Anda akan bekerja untuk supervisor baru. Supervisor baru yang akan bekerja dengan Anda hanya memprioritaskan bisnis, keuntungan, dan produktivitas di atas segala hal, termasuk kesejahteraan karyawan.
Kelompok 2A akan mendapatkan deskripsi situasi dimana mereka akan bekerja untuk supervisor BLM, sedangkan kelompok 2B tidak akan melihat deskripsi tersebut.

B. Alat pengukuran: The Passion Scale
Pada studi 2 ini, responden diharuskan mengisi kuesioner singkat tentang sikap dan perasaan mereka tentang bekerja di perusahaan sebagai bagian dari prosedur aplikasi. Mereka juga diberi tahu bahwa supervisor baru akan mengevaluasi jawaban mereka dan menggunakannya untuk memutuskan pelamar mana yang akan dipromosikan. Dalam menjawab kuesioner tersebut, peserta diminta untuk menjawab pertanyaan dengan cara yang mereka pikir akan dijawab oleh kandidat yang ingin mendapatkan promosi.

Hasil Penelitian:

Tabel 2. Tingkat passion ideal dari para responden

Sama seperti studi 1, peneliti melakukan dua tahap prosedur di studi 2, yaitu:

  1. Manipulation check

Manipulation check ditujukan untuk menguji pengetahuan responden terkait supervisor baru yang akan membawahi mereka. Dari tabel 2, dapat dilihat bahwa baik di kelompok 1 (other) maupun kelompok 2 (self), responden di BLM condition (1A dan 2A) memiliki pengetahuan bahwa supervisor hanya peduli mengenai keuntungan perusahaan, sedangkan responden di control condition (1B dan 2B) masih memiliki pemikiran bahwa supervisor peduli dengan prioritas lainnya, seperti kesejahteraan karyawan.

2. Analisis utama

Analisis utama dari studi 2 ini ingin menguji sebuah hipotesis, yaitu:
H2: Orang-orang percaya bahwa baik dirinya maupun orang lain harus menunjukkan tingkat OP yang lebih tinggi ketika memiliki pengetahuan bahwa mereka akan bekerja di bawah supervisor dengan BLM dibandingkan ketika tidak memiliki pengetahuan tersebut.

Tabel 2 menunjukkan segmentasi yang jelas antara hasil kelompok 1 (other version) dan kelompok 2 (self version). Untuk peserta di kelompok 1 (other version), lebih banyak responden di BLM condition (1A) yang beranggapan bahwa OP dibutuhkan di skenario ini dibandingkan responden di control condition (1B). Selain itu, kandidat dengan HP memiliki estimasi sukses yang lebih rendah di 1A dibandingkan di 1B, tetapi kuantitas passion tidak menunjukkan perbedaan baik di 1A maupun di 1B. Untuk peserta di kelompok 2 (self version), rata-rata responden yang menganggap bahwa OP dibutuhkan di BLM condition (2A) lebih banyak dibandingkan di control condition (2B). Selanjutnya, tidak ada perbedaan yang signifikan antara HP di kedua kondisi, tetapi ada perbedaan di kuantitas passion antara kondisi 2A dan 2B, dimana kuantitas passion di kondisi 2A lebih tinggi dibandingkan di 2B.

Hasil ini mendukung hipotesis awal bahwa orang-orang percaya bahwa baik dirinya maupun orang lain harus menunjukkan tingkat OP yang lebih tinggi ketika bekerja di bawah perusahaan yang mementingkan hasil akhir (BLM condition). Ketika dihadapkan dengan situasi dimana mereka atau orang lain ingin melamar untuk naik jabatan, rata-rata responden beranggapan bahwa tingkat OP yang lebih tinggi akan diperlukan jika ingin berhasil mencapai promosi dengan supervisor baru yang menganut BLM.

Studi 3: Estimasi keberhasilan seseorang di tempat kerja sebagai hasil dari obsessive passion

Data dan Metodologi:

  1. Data

Pada studi yang ke-3 dan terakhir, data dikumpulkan dari 418 responden yang merupakan karyawan (182 perempuan, 228 laki-laki, dan 8 tidak diketahui) berusia 18 sampai 61 tahun (rata-rata = 34.19 tahun, standar deviasi = 9.52 tahun) yang diambil dari mahasiswa yang direkrut dari Prolific Academic.

2. Metodologi
Prosedur di studi ke-3 ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

A. Segmen 1: The Passion Scale
Pada bagian pertama, responden mengisi pertanyaan di Passion Scale untuk menilai tingkat OP dan HP yang mereka miliki di pekerjaan mereka saat ini. Passion Scale terdiri dari skala 1 (sangat tidak setuju) hingga 7 (sangat setuju) dan merujuk pada kategori “pekerjaan”.

B. Segmen 2: Pemberian skenario
Pada bagian kedua dari studi ini, responden dibagi menjadi dua kelompok yang dipilih secara acak. Skenario yang diberikan adalah:
“Bayangkan bahwa supervisor di pekerjaan Anda saat ini telah digantikan oleh supervisor baru. Supervisor baru ini berasal dari perusahaan yang berbeda dan Anda tidak pernah bekerja dengan orang ini sebelumnya. Untuk menyambut sang supervisor baru, perusahaan Anda mengadakan pertemuan rapat dimana Anda bertemu dengannya untuk pertama kalinya [Pada rapat tersebut, Anda menemukan bahwa supervisor baru Anda hanya peduli pada bisnis. Ia memperlakukan keuntungan dan produktivitas sebagai hal yang lebih penting dari apapun, termasuk kesejahteraan karyawan].”
Kelompok 1 (BLM condition) akan mendapatkan deskripsi situasi dimana mereka akan bekerja untuk supervisor BLM, sedangkan kelompok 2 (control condition) tidak akan melihat deskripsi tersebut.

  1. Setelah diberikan skenario, responden akan menjawab beberapa pertanyaan yang mencakup:
  2. Dua pertanyaan tentang perkiraan kesuksesan(“Saya akan bekerja dengan baik untuk supervisor baru”, “Saya akan berhasil bekerja untuk supervisor baru”),
  3. Dua pertanyaan tentang perkiraan kepuasan (“Saya akan senang bekerja untuk supervisor baru”, “Saya akan menikmati bekerja untuk supervisor baru”),
  4. Satu pertanyaan tentang perkiraan kualitas hubungan (“Supervisor baru dan saya akan memiliki hubungan kerja yang baik”),
  5. Satu pertanyaan tentang niat untuk berhenti (“Saya akan mempertimbangkan untuk meninggalkan pekerjaan saya jika saya bekerja untuk supervisor baru”).

Responden akan menjawab pertanyaan menggunakan Likert Scale yang terdiri dari skala 1 (sangat tidak setuju) hingga 7 (sangat setuju).

Hasil Penelitian:

Pada studi 3, peneliti ingin memperluas dan memvalidasi hasil penelitian dari dua studi sebelumnya. Oleh karena itu, hipotesis yang diuji pada studi 3 ini adalah:

H3: Jika orang-orang berpikir bahwa OP merupakan tingkat passion yang ideal untuk mencapai kesuksesan di lingkungan kerja dengan BLM, maka hal ini akan tercermin ke dalam kinerja mereka di lingkungan kerja nyata.

  1. Efek skenario
Tabel 3. Dampak manipulasi skenario

Tabel 3 menunjukkan dampak manipulasi skenario antara dua kelompok (BLM condition dan control condition). Pada bagian manipulation check, dapat diidentifikasi bahwa responden pada kelompok 1 (BLM condition) memiliki pengetahuan bahwa supervisor hanya peduli dengan keuntungan (rata-rata = 5.70, standar deviasi = 1.62), sedangkan untuk kelompok 2 (control condition), banyak responden yang masih memiliki pemikiran bahwa supervisor peduli tentang kesejahteraan karyawan (rata-rata 4.24, standar deviasi = 1.42). Hal ini berarti manipulasi skenario yang dimaksudkan oleh peneliti tersampaikan dengan baik.

Selanjutnya, pada bagian estimasi reaksi responden terhadap skenario, responden di kelompok 1 memprediksikan tingkat kesuksesan yang lebih rendah, kenikmatan kerja yang lebih sedikit, hubungan kerja yang lebih buruk dengan supervisor baru, dan niat untuk berhenti yang lebih besar dibandingkan dengan responden di kelompok 2. Hasil-hasil ini menunjukkan bahwa responden umumnya lebih menyukai bekerja di lingkungan kerja yang tidak menganut BLM.

2. Analisis utama
Analisis utama dari studi ke-3 ini ingin menguji apakah efek dari manipulasi skenario di atas bergantung pada tingkat OP terhadap pekerjaan. Pengujian dilakukan menggunakan analisis regresi moderat atau MRA (mengetahui efek variabel moderating terhadap hubungan antara variabel independen dan variabel dependen) dengan makro PROCESS (algoritma yang digunakan untuk menghitung koefisien parameter dalam MRA) di program SPSS.

Studi ini ingin melihat pengaruh skenario (BLM condition dan control condition) terhadap hubungan antara OP (variabel independen) dan tingkat kesuksesan, kepuasan, kualitas hubungan, dan niat untuk berhenti (variabel dependen). Hipotesis awal dari studi ini adalah OP akan memprediksi kesuksesan yang lebih besar jika bekerja untuk supervisor dengan kondisi BLM. Maka dari itu, analisis regresi yang dilakukan mencakup:

  1. HP (berpusat pada rata-rata)
  2. OP (berpusat pada rata-rata)
  3. Kondisi skenario (dummy: 0 = control condition; 1 = BLM condition)
  4. Interaksi OP × kondisi
  5. Interaksi HP x kondisi
Tabel 4. Estimasi reaksi terhadap skenario

Tabel 4 di atas disegmentasikan menjadi dua bagian, yaitu main regression dan simple slopes. Pada bagian main regression, kita dapat melihat bahwa prediksi tingkat kesuksesan dari variabel independen HP (0.30) lebih besar dibandingkan OP (0.01). Namun, ketika dimoderasi dengan kondisi skenario yang diberikan, prediksi tingkat kesuksesan dari variabel HP (-0.08) lebih kecil dibandingkan OP (0.29). Hasil ini sejalan dengan prediksi tingkat kepuasan, hubungan, dan niat untuk berhenti dari variabel independen HP dan OP. Tanpa skenario yang diberikan, HP dianggap sebagai pilihan yang lebih ideal. Sedangkan, ketika diberikan sebuah kondisi dimana mereka akan bekerja di lingkungan kerja yang menganut BLM, OP menjadi pilihan yang lebih diutamakan. Hasil pada bagian simple slopes pun memvalidasi hal tersebut. Pada BLM condition, efek dari variabel OP terhadap tingkat kesuksesan (0.30), kepuasan (0.53), dan kualitas hubungan (0.36) lebih tinggi dibandingkan pada control condition (0.01); (0,06); (0.05). Selain itu, pada BLM condition, efek dari variabel OP terhadap minat untuk berhenti (0.14) lebih sedikit daripada pada control condition (0.64)

Hasil regresi tersebut mendukung hipotesis awal bahwa OP akan memprediksi tingkat kesuksesan yang lebih tinggi di lingkungan kerja yang menganut BLM. Pada lingkungan kerja tanpa kondisi BLM, pilihan OP tidaklah menjadi pilihan yang utama bagi para karyawan.

Kesimpulan

Berdasarkan ketiga studi di atas, ditemukan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap pentingnya obsessive passion (OP) untuk mencapai kesuksesan di dunia kerja bergantung erat pada lingkungan kerja yang terkait. Dari studi 1, ditemukan bahwa OP dinilai sebagai sesuatu yang diutamakan di lingkungan kerja dengan BLM dibandingkan dengan HP. Selanjutnya, studi 2 mengungkapkan bahwa responden memiliki pemikiran baik dirinya maupun orang lain harus memiliki tingkat OP yang lebih tinggi jika ingin mendapatkan promosi di lingkungan kerja dengan BLM. Sebagai penutup, studi 3 menjelaskan bahwa OP merupakan pilihan yang ideal bagi para pekerja di lingkungan yang menganut BLM. Bagaimanapun, ketika dihadapkan dengan lingkungan kerja tanpa BLM, HP dipandang sebagai pilihan yang lebih ideal.

Hasil penelitian di atas menjawab pertanyaan mengapa masih ada anggota masyarakat yang percaya bahwa OP dibutuhkan di dunia kerja walaupun mereka memiliki pengetahuan tentang dampak samping yang mengikutinya, seperti tekanan psikologis, kelelahan, dan konflik kerja dengan kehidupan pribadi (Vallerand, 2015). Hal ini menunjukkan bahwa cara masyarakat menampilkan dirinya di tempat kerja sangat berkaitan dengan lingkungan kerja mereka. Penelitian ini juga mendukung hipotesis bahwa ada lingkungan tertentu yang menunjukkan kesesuaian yang lebih baik untuk orang dengan OP. Calon pekerja mungkin akan lebih tertarik pada tempat kerja yang menganut BLM jika mereka memiliki tingkat OP yang tinggi terhadap pekerjaan mereka. Selain itu, masyarakat juga percaya bahwa orang lain dengan OP yang tinggi harus mencari peluang di organisasi yang menganut BLM untuk meningkatkan karir mereka.

--

--