Virtual Violence: The Influence of Violent Video Games on Aggressiveness

KANOPI FEB UI
13 min readNov 2, 2023

--

sumber. dokpri

Judul Artikel : Effects of Violent Video Games on Player’s and Observers’ Aggressive Cognitions and Aggressive Behaviors

Penulis : Qian Zhang, Yi Cao, Jingjin Tian

Tahun terbit : 2020

Jurnal : Experimental Child Psychology

Diulas oleh : Anindya Ayu Putri Paramitha

Latar Belakang

Human Aggression atau agresi manusia adalah semua perilaku yang ditujukan kepada individu dengan maksud segera untuk menyebabkan kerugian (Anderson & Bushman, 2002b). Walaupun semua kekerasan adalah agresi, banyak agresi yang bukan bentuk kekerasan. Contohnya adalah ketika seorang anak mendorong temannya dari sepeda. Ini merupakan tindakan agresi namun bukan kekerasan. Meskipun kekerasan pada media tidak secara langsung meningkatkan kekerasan anak, hal tersebut tentu mempengaruhi perilaku agresif pada anak (Anderson & Bushman, 2002a). Penelitian ini mengeksplorasi bagaimana dua aspek agresi, yakni kognisi agresif (proses pemikiran keinginan untuk melakukan perilaku agresif) dan perilaku agresif berhubungan dengan permainan video yang mengandung kekerasan.

A. Pemain, Pengamat, dan Agresi

Berdasarkan teori pembelajaran sosial mengenai agresi (Bandura, 1978), paparan singkat terhadap permainan kekerasan baik sebagai pemain atau pengamat dapat meningkatkan kognisi dan perilaku agresif yang dipelajari dari permainan. Namun, intensitasnya mungkin berbeda. Penelitian sebelumnya menunjukan bahwa bila seseorang merasa terhubung dengan karakter permainan, hal tersebut dapat memperkuat efek dari permainan video kekerasan pada agresi (Fischer, Kastemüler, & Greitemeyer, 2010: Hollingdale & Greitemeyer, 2013: Konijn, NijeBijvank, & Bushman, 2007). Efek ini lebih besar bagi mereka yang aktif memainkan permainan video dibandingkan mereka yang hanya mengamati. Hal ini karena pemain cenderung lebih memperhatikan konten permainan dan terlibat secara kognitif dengan tindakan yang dilakukan di permainan, yang kemudian memicu konstruk-konstruk kognitif dan emosional terkait perilaku agresif (Buckley & Anderson, 2006) dan akhirnya meningkatkan pemikiran dan perilaku agresif (Calvert & Tan, 1994; Polman et al., 2008). Oleh karena itu, hipotesis pertama dari penelitian ini adalah:

H1. Pemain akan menunjukan kognisi agresif dan perilaku agresif lebih banyak dibandingkan pengamat dalam kondisi permainan kekerasan

B. Jenis Kelamin dan Agresi

Sebagian besar penelitian telah menunjukkan bahwa anak laki-laki berpotensi menjadi lebih agresif daripada perempuan setelah bermain permainan video kekerasan (misalnya, Bartholow & Anderson, 2002; Carnagey & Anderson, 2005; Connor, Steingard, Anderson, & Melloni, 2003; Mclntyre et al., 2007). Namun, jarang ada yang menjelaskan apakah perbedaan jenis kelamin tersebut dapat memperluas efek perspektif bermain permainan sebagai pemain atau pengamat pada agresi. Meskipun literatur penelitian jarang menemukan efek moderasi jenis kelamin, mengingat bukti yang konsisten untuk perbedaan jenis kelamin dalam kekerasan permainan video (yaitu, Bartholow & Anderson, 2002), kita dapat mengharapkan efek utama konten permainan kekerasan dan efek utama jenis kelamin. Maka, hipotesis penelitian selanjutnya adalah:

H2. Terdapat efek utama konten permainan kekerasan dan efek utama jenis kelamin pada kognisi agresif dan perilaku agresif

C. Kognisi Agresif dan Perilaku Agresif

Penelitian sebelumnya telah menunjukan bahwa paparan permainan video kekerasan meningkatkan pemikiran agresif, respons fisik, dan perilaku agresif pemain (Anderson & Bushman, 2001; Greitemeyer, 2017; Mehta, 2005; Zhen, Xie, Zhang, Wang, & Li, 2011). Teori agresi umum (Anderson & Bushman, 2018) menyatakan bahwa interaksi faktor-faktor situasional (misalnya, jenis permainan video, tingkat keterlibatan dalam permainan, provokasi) dan faktor personal (misalnya, sifat, jenis kelamin, sikap) dapat meningkatkan kognisi agresif, respons emosional agresif, arousal fisik, dan perilaku agresif pemain. Sebagai contoh, seseorang yang memainkan permainan video kekerasan (faktor situasional) dengan tingkat kebencian yang moderat terhadap musuhnya (faktor personal) dapat memperoleh pemikiran yang agresif dan pada akhirnya terlibat dalam perilaku agresif. Demikian pula, model kognisi neoasosiasi (Berkowitz, 2017) yang menyatakan bahwa mengamati tayangan media tentang suatu perilaku dapat mengaktifkan jaringan kognitif terkait agresi, sehingga pemikiran agresif lebih mudah diakses oleh individu yang kemudian memicu perilaku agresif. Berdasarkan dasar teoritis ini, hipotesis penelitian yang selanjutnya adalah:

H3. Pemikiran agresif akan menjadi perantara efek permainan kekerasan terhadap perilaku agresif

DResearch question

  1. Apakah paparan singkat terhadap permainan video kekerasan mempengaruhi kognisi agresif dan perilaku agresif pemain dan pengamat? Jika iya, apakah ada perbedaannya antara jenis kelamin?
  2. Apakah efek permainan kekerasan terhadap perilaku agresif dimediasi oleh kognisi agresif?

Data dan Metodologi

Data:

A. Materi

  1. Permainan video

Street Fighter II dipilih sebagai permainan video kekerasan dan tetris dipilih sebagai permainan video netral. Street Fighter II merupakan permainan perspektif orang ketiga dengan tujuan untuk membunuh lawan dan memenangkan pertarungan, dimana pemainnya dapat memilih karakter dengan keterampilan bela diri yang berbeda-beda. Permainan ini dianggap kekerasan karena berfokus pada aksi pertarungan. Di sisi lain, Tetris adalah permainan teka-teki netral tanpa konteks kekerasan. Aturan dasar Tetris adalah untuk memindahkan, memutar, dan menempatkan segala jenis blok yang disediakan secara otomatis dengan tujuan menyusun blok menjadi baris lengkap dan mendapatkan skor tinggi. Kedua permainan ini dipilih karena mudah dimainkan oleh anak-anak dan tidak memerlukan banyak latihan yang dapat mengendalikan efek pengacau potensial dari pengalaman dan keakraban pada permainan.

Seperti pada penelitian sebelumnya (i.e., Barlett, Branch, Rodehefferl, & Harris, 2009), partisipan memainkan permainan yang ditentukan selama 10 menit di laptop 15 inci. Peneliti mengundang 20 produsen game, 20 guru, 20 orang tua, 20 pasca sarjana, 20 psikolog untuk menilai tingkat kekerasan dalam permainan. Penilaian bertujuan untuk memastikan permainan yang dipilih benar-benar mengandung kekerasan dan agresi atau tidak. Separuh penilai memainkan Street Fighter II dan separuhnya Tetris. Kemudian mereka diminta untuk mengisi kuesioner delapan item menggunakan skala likert 5 poin untuk menilai tingkat kekerasan antara kedua permainan yang dinilai dari konten kekerasan, keakraban, popularitas, citra kekerasan, aksi, minat, kegembiraan, dan kesederhanaan. Hasilnya, Street Fighter II mendapatkan skor penilaian yang signifikan lebih tinggi daripada Tetris dalam hal konten kekerasan, popularitas, citra kekerasan, minat, dan kegembiraan. Namun, tidak ditemukan perbedaan penilaian yang signifikan dalam hal keakraban, aksi, dan kesederhanaan. Berdasarkan rekomendasi sebelumnya bahwa konten kekerasan dan citra kekerasan dapat dianggap sebagai penanda kekerasan media (Anderson & Bushman, 2001; Anderson & Dill, 2000), Street Fighter II dan Tetris dipilih sebagai permainan kekerasan dan permainan netral.

2. Kata-kata target

Kata-kata target digunakan untuk mengukur kognisi agresif. Terdapat 30 kata agresif (misal, sword, gun, rifle) dan 30 kata non-agresif (misal, anggur, kelinci, apel), yang ditampilkan di tengah layar.

B. Partisipan

Sampel terdiri dari 192 anak berusia 12 tahun (50% perempuan) yang menghadiri tiga sekolah dasar di Chongqing, wilayah barat daya China. Eksperimen dilakukan dengan persetujuan tertulis orang tua dengan tingkat persetujuan 100%. Hanya anak usia 12 tahun yang dijadikan sampel untuk mengendalikan potensi perbedaan usia.Hal ini dikarenakan usia berkaitan dengan kecenderungan agresif (Gentile, Li, Khoo, Prot, & Anderson, 2014).

Partisipan dibagi secara acak menjadi dua kelompok: pemain-pengamat permainan kekerasan dan pemain-pengamat permainan netral masing-masing 96 partisipan. Setiap kelompok memiliki 48 pasangan, di mana setengahnya memainkan atau mengamati permainan yang sesuai.

Variabel:

A. Variabel Dependen

Agresi pemain dan pengamat

  1. Kognisi agresif

Kognisi agresif diukur dengan Reaction Times (RTs) terhadap kata-kata agresif dalam Lexical Decision Task (LDT). Waktu reaksi yang lebih lama menandakan aksesibilitas yang lebih rendah terhadap kognisi agresif.

2. Perilaku agresif

Perilaku agresif diukur melalui intensitas suara yang diatur peserta untuk lawan virtual melalui Competitive Reaction Time Task (CRTT), yang telah terbukti sebagai ukuran valid agresi (Warburton & Bushman, 2019). Dalam tugas ini, anak-anak bersaing dengan lawan virtual untuk melihat siapa yang dapat merespons presentasi nada pertama lebih dulu. Setelah setiap percobaan, yang kalah akan menerima suara ledakan besar sebagai hukuman (sesi 1) dan pemenangnya bisa mengatur intensitas suaranya (sesi 2). Pola kemenangan/kekalahan pada peserta percobaan “kalah” telah ditentukan sebelumnya sehingga peserta akan selalu memiliki 13 kemenangan dan 12 kekalahan.

B. Variabel Independen

  1. Permainan video (kekerasan dan netral)
  2. Perspektif (pemain dan pengamat)
  3. Jenis kelamin (laki-laki & perempuan)

C. Variabel Kontrol

  1. Usia
  2. Jenis permainan video

Metodologi:

A. Prosedur Eksperimen

Eksperimen 1

Partisipan duduk di depan laptop dan menandatangani formulir persetujuan dengan bantuan asisten penelitian terlatih. Mereka kemudian diberitahu bahwa penelitian ini berkaitan dengan efek perspektif permainan (pemain vs. pengamat) terhadap performa kognitif dan pengaturan intensitas suara saat mereka direkrut. Peserta secara acak ditugaskan ke salah satu dari empat kondisi (pemain permainan kekerasan, pengamat permainan kekerasan, pemain permainan netral, atau pengamat permainan netral) dalam kelompok pasangan pemain-pengamat permainan kekerasan atau kelompok pasangan pemain-pengamat permainan netral. Pertama, 24 anak laki-laki memainkan permainan video kekerasan dan 24 anak laki-laki menonton permainan kekerasan tersebut. Kedua, 24 anak laki-laki memainkan permainan video netral dan 24 anak laki-laki menonton permainan netral tersebut. Ketiga, 24 anak perempuan memainkan permainan video kekerasan dan 24 anak perempuan menonton permainan kekerasan tersebut. Keempat, 24 anak perempuan memainkan permainan video netral dan 24 anak perempuan menonton permainan netral tersebut. Peserta memainkan atau mengamati setiap permainan selama 10 menit.

Eksperimen 2

Setelah memainkan atau mengamati permainan yang ditugaskan, peserta menyelesaikan LDT dan CRTT. Peserta diberitahu bahwa mereka tidak akan berhubungan dengan lawan (fiktif) mereka selama atau setelah eksperimen. Mengingat bahwa kecurigaan bisa menjadi masalah dalam CRTT. Dalam Lexical Decision Task (LDT), kata agresif dan non agresif muncul secara bergantian di layar. Asisten penelitian membimbing anak-anak untuk merespons setiap kata yang ditampilkan selama 2 detik dengan menekan tombol sesuai dengan makna kata tersebut (agresif atau non agresif). Sesi latihan terdiri dari 20 percobaan, yang membantu peserta mengenal prosedurnya. Pada sesi formal, terdapat 3 blok dengan, secara total, 30 kata agresif dan 30 kata non agresif dipresentasikan secara acak dalam setiap blok hanya sekali.

Pada Competitive Reaction Time Task (CRTT), peserta mendengar intensitas suara ledakan yang berbeda terlebih dahulu (intensitas 1 adalah 60 dB dan intensitas 4 adalah 90 dB). Setelahnya, mereka melanjutkan ke sesi pertama. Terdapat 25 percobaan (13 kemenangan vs. 12 kekalahan) dalam sesi pertama. Percobaan pertama diatur untuk selalu kalah bagi peserta. 24 percobaan sisanya dibagi menjadi tiga blok, masing-masing dengan 8 percobaan. Blok pertama dan kedua memiliki 4 kemenangan dan 4 kekalahan. Blok ketiga memiliki 5 kemenangan dan 3 kekalahan karena percobaan terakhir selalu diatur menang. Ketika kalah, peserta dapat melihat intensitas ledakan suara yang seharusnya diatur oleh lawan pada setiap percobaan. Pada akhir sesi 1, asisten penelitian mengingatkan anak-anak bahwa di sesi 2 mereka dapat mengatur intensitas ledakan suara untuk lawan mereka. Pilihan tanpa suara (0 dB; perilaku non-agresif) juga tersedia. Sesi 2 identik dengan sesi 1, hanya saja perannya dibalik. Perilaku agresif diukur melalui intensitas ledakan suara yang diatur untuk lawan (rentang = 1 [60 dB] hingga 4 [90 dB]), dengan skor lebih tinggi menandakan perilaku agresif yang lebih besar.

B. Analisis Data

Statistik deskriptif diberlakukan pada desain antar kelompok 2 (permainan: kekerasan vs. netral) x 2 (Perspektif: pemain vs. pengamat) x 2 (jenis kelamin: laki-laki vs. perempuan) dihitung menggunakan Three-Way Analysis of Variance (ANOVA) di SPSS 21.0. Analisis mediasi dilakukan menggunakan PROCESS macro 3.0 (Hayes, 2013). Peneliti juga menguji apakah kognisi agresif dapat memediasi hubungan antara permainan video kekerasan dan perilaku agresif. Metode bootstrapping (Preacher & Hayes, 2004) digunakan untuk menguji signifikansi efek mediasi. Peneliti menetapkan 5000 sampel bootstrapping dan interval kepercayaan (CI) yang disesuaikan dengan bias 95%. Tidak ada efek signifikan jika CI 95% berisi nol dan sebaliknya. Indikator ukuran efek Cohen’s d dan partial eta squared (g2p) juga dilaporkan.

Hasil Penelitian

A. ANOVA Kognisi Agresif

Tabel 1. ANOVA kognisi agresif

Hasil menunjukkan bahwa terdapat efek utama dari konten kekerasan permainan terhadap kognisi agresif. Peserta yang terpapar permainan kekerasan memiliki kognisi agresif yang lebih tinggi daripada mereka yang terpapar permainan netral [M = 547.30 (SD = 5.93) < M = 577.29 (SD = 5.93)], F(1, 184) = 12.78, p < 0.001, d = 0.52, g2p = 0.06. Terdapat juga efek utama dari perspektif terhadap kognisi agresif. Pemain menampilkan lebih banyak kognisi agresif daripada pengamat [M = 550,92 (SD = 5,93) < M = 573,67 (SD = 5,93)], F(1, 184) = 7,36, p = 0,007, d = 0,39, g2p = 0,04. Tidak ada efek utama dari jenis kelamin terhadap kognisi agresif, F(1, 184) = 0,13, p = 0,72, d = 0,05, g2p < 0,001.

Gambar 1. Interaksi antara jenis kelamin dan jenis permainan pada kognisi agresif. Garis-garis error mewakili standar deviasi. Kognisi agresif yang lebih tinggi berarti waktu reaksi lebih singkat, sedangkan kognisi agresif yang lebih rendah berarti waktu reaksi lebih lama. *p < .05.

Selain itu, ditemukan interaksi yang signifikan antara jenis kelamin dan permainan terhadap kognisi agresif, F(1, 184) = 6,58, p = 0,01, d = 0,37, g2p = 0,03. Analisis efek sederhana mengungkapkan bahwa anak laki-laki menunjukkan kognisi agresif yang sedikit lebih tinggi daripada anak perempuan hanya dalam kondisi permainan kekerasan [M = 535,05 (SD = 8,39) < M = 559,55 (SD = 8,39)], F(1,184) = 4,26, p = 0,04, d = 0, 30, g2p = 0,02. Namun, tidak ditemukan perbedaan jenis kelamin yang signifikan dalam kognisi agresif dalam kondisi permainan netral.

Gambar 2. Interaksi antara perspektif dan jenis permainan pada kognisi agresif. Garis-garis error mewakili standar deviasi. Kognisi agresif yang lebih tinggi berarti waktu reaksi lebih singkat, sedangkan kognisi agresif yang lebih rendah berarti waktu reaksi lebih lama. ***p < .001.

Terdapat interaksi perspektif permainan yang signifikan terhadap kognisi agresif, F(1, 184) = 9,07, p = 0,003, d = 0,44, g2p = 0,05. Pemain menampilkan lebih banyak kognisi agresif daripada pengamat dalam kondisi permainan kekerasan [M = 523,29 (SD = 8,39) < M = 571,31 (SD = 8,39)], F(1, 184) = 16,38, p < 0,001, d = 0,59, g2p = 0,08. Namun, tidak ditemukan perbedaan perspektif yang signifikan dalam kognisi agresif dalam kondisi permainan netral, F(1, 184) = 0,05, p = .83, d = 0,03, g2p < 0,001. Tidak ada interaksi signifikan antara permainan, perspektif, jenis kelamin terhadap kognisi agresif, F(1, 184) = 0,02, p = 0,90, d = 0,02, g2p < 0,001.

B. ANOVA Perilaku Agresif

Tabel 2. ANOVA perilaku agresif

Terdapat efek utama dari konten kekerasan permainan pada perilaku agresif. Paparan permainan kekerasan meningkatkan perilaku agresif, sedangkan paparan permainan netral tidak [M = 2,07 (SD = 0,07) > M = 1,67 (SD = 0,07)], F(1, 184) = 14,77, p < .001, d = 0,56, g2p = .07. Peneliti juga menemukan efek utama dari perspektif pada perilaku agresif. Pemain menunjukkan lebih banyak perilaku agresif daripada pengamat [M = 2,01 (SD = 0,07) > M = 1,72 (SD = 0,07)], F(1, 184) = 7,39, p = .007, d = 0,39, g2p = .04. Tidak ada efek utama dari jenis kelamin pada perilaku agresif.

Gambar 3. Interaksi antara jenis kelamin dan permainan pada perilaku agresif. Garis error menunjukkan deviasi standar. **p < .01

Selain itu, ditemukan interaksi antara jenis kelamin permainan pada perilaku agresif, F(1, 184) = 4,49, p = .04, d = 0,31, g2p = .02. Analisis efek sederhana menunjukkan bahwa anak laki-laki menunjukkan lebih banyak perilaku agresif daripada anak perempuan hanya dalam kondisi permainan kekerasan [M = 2,27 (SD = 0,10) > M = 1,86 (SD = 0,10)], F(1, 184) = 7,47, p = .007, d = 0,40, g2p = .04. Namun, kami tidak menemukan perbedaan perilaku agresif yang signifikan antara jenis kelamin dalam kondisi permainan netral.

Gambar 4. Interaksi antara perspektif dan permainan pada perilaku agresif. Garis error menunjukkan deviasi standar. **p < .0

Hasil juga menemukan interaksi yang signifikan antara perspektif permainan pada perilaku agresif, F(1, 184) = 4,95, p = .03, d = 0,32, g2p = .03, dengan pemain menunjukkan lebih banyak perilaku agresif daripada pengamat dalam kondisi permainan kekerasan [M = 2,32 (SD = 0,10) > M = 1,81 (SD = 0,10)], F(1,184) = 12,22, p =. 001, d = 0,51, g2p = .06. Namun, tidak ada perbedaan perspektif yang signifikan pada perilaku agresif yang ditemukan dalam kondisi permainan netral, F(1, 184) = 0,12, p = .73, d = 0,05, g2p < .001. Terakhir, tidak ada interaksi yang signifikan antara jenis permainan dan jenis kelamin terhadap perilaku agresif.

C. Kognisi Agresif Sebagai Mediator Perilaku Agresif

Gambar 5. Model mediasi permainan video kekerasan terhadap perilaku agresif melalui kognisi agresif. 0 = video game netral; 1 = video game kekerasan. Koefisien jalur standar ditampilkan. Garis padat mewakili jalur yang signifikan. *p < 0,05

Berdasarkan hasil ANOVA, yang menunjukkan bahwa paparan permainan kekerasan mempengaruhi kognisi agresif dan perilaku agresif, dilakukan analisis mediasi terhadap pengaruh paparan permainan kekerasan terhadap perilaku agresif dengan kognisi agresif sebagai mediator. Dalam model ini, permainan video kekerasan adalah prediktor, kognisi agresif (waktu reaksi untuk kata-kata agresif) adalah mediator, dan perilaku agresif (pengaturan intensitas kebisingan) adalah variabel hasil. Jenis kelamin dan perspektif diatur sebagai kovariat karena adanya interaksi yang signifikan antara jenis kelamin dan permainan serta perspektif dan permainan. Efek langsung dari permainan video kekerasan terhadap perilaku agresif signifikan (b = 0,19, SE = 0,07, 95% CI = [0,05, 0,32]). Permainan video kekerasan secara signifikan memprediksi kognisi agresif yang lebih tinggi, (misalnya, RT lebih pendek) (b = -0,24, SE = 0,07, 95% CI = [-0,38, -0,10]), dan kognisi agresif yang lebih tinggi secara signifikan memprediksi peningkatan perilaku agresif (b = -0,30, SE = 0,07, 95% CI = [-0,43, -0,16]). Kognisi agresif memediasi sebagian efek permainan kekerasan terhadap perilaku agresif (b = 0,07, SE = 0,02, 95% CI = [0,03, 0,12]).

Kesimpulan

Konsisten dengan H1, penelitian ini menemukan bahwa pemain menunjukkan kognisi dan perilaku agresif lebih banyak daripada pengamat dalam kondisi permainan yang penuh kekerasan. Penelitian ini menunjukkan bahwa pengamat pasif mungkin memiliki risiko agresi lebih rendah daripada pemain aktif karena keterlibatan mereka pada kekerasan permainan kurang intens. Sebaliknya, pemain aktif yang berinteraksi langsung dengan konten permainan kekerasan memiliki aksesibilitas yang lebih besar ke konstruk dan skrip perilaku agresif karena mereka lebih terlibat secara kognitif dengan konten permainan (Bushman, 1998). Namun, dalam penelitian ini, tidak ditemukan pengamat menunjukkan kognisi dan perilaku agresif dalam kondisi permainan netral. Ini menunjukkan bahwa peningkatan agresi mungkin terjadi pada anak-anak yang menonton permainan video, terlepas dari kekerasannya. Hal ini perlu lebih diteliti.

Sesuai dengan H2, penelitian ini menemukan efek utama konten kekerasan permainan terhadap kognisi dan perilaku agresif. Partisipan yang terpapar permainan video kekerasan mengalami peningkatan kognisi dan perilaku agresif. Namun, bertentangan dengan hipotesis, tidak ditemukan efek utama jenis kelamin pada kognisi dan perilaku agresif. Hal ini mengejutkan mengingat laki-laki rata-rata memiliki tingkat kemarahan dan kebencian yang lebih tinggi daripada perempuan (misalnya, Yao, Zhou, Li, & Gao, 2019; Zhen et al., 2011) dan sikap yang kurang empati (misalnya, Bartholow, Sestir, & Davis, 2005; Rueckert & Naybar, 2008). Meskipun demikian, anak laki-laki menunjukkan lebih banyak kognisi dan perilaku agresif daripada anak perempuan dalam kondisi permainan kekerasan, namun tidak ada perbedaan jenis kelamin yang signifikan dalam kognisi dan perilaku agresif ditemukan dalam kondisi permainan netral.

Sesuai dengan H3, penelitian ini menemukan bahwa kognisi agresif menjadi perantara efek jangka pendek dari permainan video kekerasan terhadap perilaku agresif. Selain itu, temuan ini mendukung baik model agresi umum yang menunjukkan bahwa kekerasan media secara signifikan meningkatkan perilaku agresif melalui pemikiran agresif (Anderson & Bushman, 2018) maupun model kognitif neoasosiasi yang menunjukkan bahwa jaringan kognitif yang diaktifkan dalam struktur pengetahuan agresif menghasilkan perilaku agresif kemudian (Berkowitz, 2017).

--

--

No responses yet