Why Do People Stay Poor?
Judul Artikel: Why Do People Stay Poor?
Penulis: Clare Balboni, Oriana Bandiera, Robin Burgess, Maitreesh Ghatak, Anton Heil
Tahun Terbit: 2021
Jurnal: The Quarterly Journal of Economics
Diulas oleh Rahma Azzahra Putri Hariyadi
Latar Belakang
“Why do people stay poor?” merupakan pertanyaan paling penting dalam ilmu sosial yang berimplikasi terhadap kesejahteraan manusia. Kemiskinan kerap menjadi hambatan utama di masyarakat, seperti tercermin pada Sustainable Development Goals yang memiliki tujuan utama untuk “mengentaskan kemiskinan ekstrem bagi semua orang di mana pun pada tahun 2030.” Maka dari itu, mengidentifikasi faktor penyebabnya sangatlah penting untuk dapat merancang strategi kebijakan yang lebih efektif dalam dan mendorong perkembangan ekonomi yang lebih inklusif.
Terdapat dua pandangan besar yang dapat menjelaskan mengapa manusia susah untuk keluar dari kemiskinan. Kedua pandangan ini diturunkan dari pemahaman terkait mengapa individu bekerja di pekerjaan berpenghasilan rendah, yaitu dikarenakan:
- perbedaan pada kemampuan dan sifat manusia yang membuat sebagian darinya tidak cocok di pekerjaan berpenghasilan tinggi, atau
- poverty trap yang menyorot perbedaan pada peluang untuk memiliki akses menuju kekayaan dengan adanya ambang batas kekayaan (wealth threshold level) yang “menjebak” orang-orang di bawahnya, dimana kekayaan awal merekalah (bukan kemampuan atau sifat) yang membuat mereka tetap berada dalam kemiskinan.
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menguji kedua pandangan ini secara empiris karena keduanya memiliki implikasi kebijakan yang jauh berbeda. Apabila pandangan poverty trap benar, maka kita memerlukan kebijakan yang membantu mendorong masyarakat menembus threshold level sehingga mereka dapat produktif dalam jangka panjang, bukan kebijakan yang membantu menambah pendapatan hanya dalam jangka pendek. Maka dari itu, pencarian bukti dari poverty trap ini telah menjadi “a very big question” dalam ekonomi pembangunan (Banerjee, 2020).
Kunci dari pandangan poverty trap sendiri berada di wealth threshold level, atau dalam penelitian ini berfokus pada threshold level dari jumlah awal aset produktif. Threshold level ini adalah batas kekayaan yang memisahkan kemiskinan dengan kekayaan. Dimana ketika seseorang berada di atas threshold level, ia dapat mengumpulkan aset lebih banyak dan beralih ke pekerjaan yang lebih produktif sehingga penghasilannya menjadi lebih tinggi dan dapat mengeluarkannya dari kemiskinan. Sedangkan, hal sebaliknya akan terjadi apabila seseorang berada di bawah threshold level. Dia akan terjebak di kemiskinan karena tidak memiliki cukup aset atau kekayaan untuk menembus ambang batas tersebut.
Untuk dapat membuktikan pandangan poverty trap, kita perlu meneliti perilaku dari orang-orang yang melewati threshold level. Jika kemiskinan disebabkan oleh perbedaan pada sifat masing-masing individu, mereka akan kembali ke titik awal (memiliki efek jangka pendek); sebaliknya, jika kemiskinan disebabkan oleh perbedaan pada peluang, mereka akan terbebas dari kemiskinan selamanya (memiliki efek jangka panjang). Namun, dalam praktiknya, kita jarang melihat seseorang melintasi ambang batas atau tahu di mana letak ambang batas tersebut. Maka dari itu, dilakukanlah penelitian dengan memberikan transfer aset secara random kepada treatment group dan diteliti selama 11 tahun (2007–2018) untuk menangkap efeknya dan mengidentifikasi keberadaan threshold level.
Data dan Metodologi
Penelitian dilakukan terhadap 6.000 rumah tangga dalam kemiskinan ekstreim di daerah perdesaan Bangladesh yang diamati pada tingkat individu di tahun 2007, 2009, 2011, 2014, dan 2018. Lebih dari 3.000 rumah tangga diberikan transfer aset di tahun 2007. Hipotesis utama dari model poverty trap adalah kebijakan transfer aset ini dapat memiliki efek permanen apabila dapat mengangkat masyarakat dari “jebakan” tersebut atau mendorong masyarakat melewati threshold level yang nantinya dapat kita identifikasi.
Distribusi aset produktif masing-masing individu di perdesaan ini berbentuk bimodal atau memiliki dua modus, yakni di ujung kanan (aset tinggi) dan ujung kiri (aset rendah). Transfer aset yang diberikan adalah satu dari satu dari berbagai aset produktif dengan nilai aset yang sama besar dan cukup besar untuk dapat mendorong treatment group ke bagian tengah dari kurva distribusi aset produktif. Mayoritas rumah tangga memilih untuk diberikan aset produktif berupa ternak (sapi). Hal ini dapat didorong karena daerah perdesaan ini memiliki struktur pekerjaan yang sederhana, pekerjaan yang kurang produktif (pekerja pertanian dan pembantu rumah tangga) tidak memerlukan aset, sedangkan pekerjaan yang lebih produktif (mayoritas beternak sapi) membutuhkannya. Pola penggunaan dan perubahan jumlah asetlah yang kita teliti dari masing-masing rumah tangga.
Tahapan pertama yang dilakukan peneliti untuk membuktikan keberadaan poverty trap adalah membuat transition equation yang menunjukkan perubahan jumlah aset produktif dengan memasukkan berbagai faktor pemengaruh:
Untuk menggambarkan persistence, ditentukan steady state sebagai titik tetap dari yang merupakan titik ketika jumlah tabungan persis melebihi jumlah depresiasi
Sebagai visualisasi, steady state sendiri adalah titik saat y = 0. Steady state dapat tergolong stable ketika kurva semakin mendekati y = 0 seiring berjalannya waktu. Karena pada titik K cap kurva justru berjalan berlawanan arah (kembali ke atas menjauhi y = 0), maka disebut dengan unstable steady state. Threshold level (K cap)dapat terlihat dari keberadaan unstable steady state (K cap) pada contoh grafik (b) dan (c), tetapi tidak pada grafik (a).
Tahapan kedua dari penelitian ini adalah menguji kecekungan (concavity) transition equation menggunakan uji bentuk nonparametrik yang dikembangkan oleh Komarova dan Hidalgo (2019). Hal ini dilakukan untuk membuktikan keberadaan unstable steady state. Karena apabila transition equation-nya berbentuk globally concave seperti grafik (a), tidak akan terdapat unstable steady state dan dengan demikian keberadaan poverty trap tidak terbukti.
Tahapan ketiga dan terakhir, adalah mengidentifikasi threshold level (K cap) dengan mengestimasi transition equation melalui pendekatan regresi kernel-weighted local polynomial yang lebih fleksibel dibandingkan regresi biasa, karena tidak perlu data yang parametrik/linear dan dapat memberikan prediksi lebih akurat. Kemudian, peneliti membuktikannya dengan melihat perbedaan signifikan dari perkembangan aset produktif pada mereka yang di atas dan bawah threshold level. Sampel yang digunakan dalam mengestimasi transition equation ini adalah 3.292 rumah tangga dari treatment group, karena beberapa rumah tangga yang tidak termasuk golongan kemiskinan ekstrem secara salah termasuk target yang menjadi penerima transfer aset dalam program ini. Perubahan stok aset rumah tangga setelah transfer memungkinkan kita untuk mengestimasi transition equation empiris berikut:
Persamaan diatas menjelaskan logaritma rata-rata di seluruh rumah tangga. Kemudan, threshold level akan didapatkan dari perkiraan intersection dari X cap. Secara spesifik, ini dilakukan dengan merata-ratakan koordinat dari titik yang tepat di atas dan bawah garis 45 derajat pada grafik hasil regresi. Garis 45 derajat itu akan menunjukan titik ketikadimana jumlah aset di tahun 2011 sama dengan jumlah aset di tahun 2007.
Hasil Penelitian
Hasil utama penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, ditemukan dinamika akumulasi aset yang mengikuti pola berbentuk S dengan keberadaan unstable steady state yang merupakan ciri dari poverty trap–mereka yang memiliki aset awal yang terbatas akan kehilangan asetnya dan mereka yang berada di atas threshold level akan mengakumulasi aset lebih banyak. Kemudian, peneliti juga telah melakukan tes concavity (Komarova dan Hidalgo, 2019) yang menghasilkan kesimpulan menolak hipotesis null dengan p<.01
Selanjutnya, peneliti melakukan penghitungan untuk mengidentifikasi threshold level. Metode pertama yang dilakukan, dengan merata-ratakan koordinat dari titik yang tepat di atas dan bawah garis 45 derajat pada grafik hasil regresi, menunjukkan hasil berada pada K cap = 2.333 atau 9.309 Taka Bangladesh (BDT, US$504 PPP). Angka ini sedikit lebih tinggi dari rata-rata harga sapi median sebesar 9.000 BDT (US$488 PPP). Metode kedua, (estimasi secara parametrik), menunjukkan hasil berada pada K cap = 2.34 atau 9.379,14 BDT (US$508). Angka ini cocok dengan nilai di bagian tengah antara dua modus pada grafik distribusi aset produktif mula-mula. Hal ini konsisten dengan sifat unstable steady state yang diharapkan akan mendorong mereka yang berada di sekitarnya ke arah berlawanan.
Setelah mengidentifikasi angka threshold level, peneliti perlu memastikan kembali dengan melihat perbedaan dinamika akumulasi aset antara yang berhasil melewati angka tersebut dan yang tidak. Hipotesis ini diuji dengan persamaan regresi di bawah dengan hasil terlampir.
Hasil pada treatment group ditunjukkan pada Panel A. Pada kolom (1), ditunjukkan versi yang disimplifikasi., Iindikator yang digunakan hanya ‘above k cap’. Secara rata-rata, penerima aset atau treatment group yang berada di bawah threshold level kehilangan 14% dari asetnya selama empat tahun semenjak transfer dilakukan. Di sisi lain, mereka yang berada di atas threshold level mengalami peningkatan pada asetnya sebesar 16%. Kolom (2) menunjukkan estimasi dengan menggunakan seluruh persamaan regresi. Dengan terdapatnya diskontinuitas pada ki,1 , berarti terdapat pula diskontinu pada dinamika aset di K cap dengan mereka yang lebih dekat dengan threshold akan mengalami perubahan yang lebih ekstrem.
Peneliti juga meneliti kembali hasil dari perbedaan rata-rata antara harga sapi dengan threshold level yang hanya sekitar 300 BDT (US$16). Ternyata, nilai ini mirip dengan harga rata-rata dari satu unit alat bajak (250 BDT), gerobak (300 BDT), atau gudang untuk menyimpan ternak (300 BDT) sebagai komplementer dalam menjaga dan menghasilkan penghasilan dari sebuah sapi (aset yang diberikan di awal). Maka, dapat disimpulkan bahwa nilai threshold level itu sendiri menunjukkan skala minimum operasi yang diperlukan untuk produksi ternak yang menguntungkan dan berkelanjutan. Skala ini sedikit lebih tinggi dari nilai hewan tersebut semata, sehingga para rumah tangga yang sudah memiliki aset komplementer dapat menjadi lebih produktif–dan nantinya berhasil keluar dari kemiskinan–dibandingkan mereka yang tidak memilikinya.
Mengingat kembali transition equation yang mana akumulasi aset juga bergantung pada Ai,v dan si , dimana aset di masa depan akan lebih tinggi apabila rumah tangga memproduksi pendapatan lebih tinggi (Ai,v yang lebih tinggi) atau menabung dengan bagian lebih besar (si yang lebih tinggi). Hal ini dapat berimplikasi pada pergeseran transition equation rumah tangga ke atas sehingga mengalami threshold level yang lebih rendah. Maka dari itu, peneliti membiarkan keberadaan perbedaan poverty threshold yang berubah mengikuti berbagai subsampel dengan Ai,v dan si yang rendah dan tinggi. Ternyata, hasilnya menunjukkan bahwa memang terdapat perbedaan threshold level, tetapi hanya terdapat pada karakteristik potensi pemasukan, edukasi formal, kecemasan individu, dan tingkat menabung. Di sisi lain, perbedaan ini tidak terdapat pada variasi dari BMI dan kepemilikan aset non-produktif karena tidak memiliki pengaruh terhadap threshold level. Walaupun begitu, variasi ini tidak akan mengubah kesimpulan awal.
Implikasi penting dari pandangan poverty trap adalah rumah tangga yang berada di atas dan bawah threshold level memiliki perbedaan aset yang semakin jauh seiring bertambahnya waktu. Peneliti kemudian melihat perbedaan perubahan jumlah aset produktif dan konsumsi total antara kedua golongan dengan persamaan sebagai sebagai berikut:
Variabel St adalah indikator gelombang survei pada tahun 2009, 2011, 2014, dan 2018, sedangkan variabel lain masih sama seperti yang lainnya. Variable of interest-nya adalah β1,t . Variabel tersebut mengukur perbedaan tambahan antara treatment group di atas dan bawah threshold pada saat t relatif pada perbedaan setelah transfer.
Pada grafik aset produktif, (A), ditunjukkan bahwa pada awalnya terdapat perbedaan jumlah produktif aset yang kecil antara rumah tangga yang awalnya berada di atas dan di bawah threshold level. Perbedaan ini akan terus menerus bertambah secara signifikan terutama di tahun 2011 dan 2018. Pada tabel juga terlihat bahwa pada tahun 2018, rumah tangga yang awalnya berada di atas threshold level memiliki perbedaan rata-rata sebesar 10,686 BDT (US$542) dalam aset produktif dibandingkan mereka yang berada di bawahnya. Di samping itu, pada grafik konsumsi total (B), terlihat juga perbedaan yang meningkat secara stabil antara rumah tangga yang di atas dan di bawah threshold level. Beberapa hasil ini juga menjadi bukti lebih lanjut bahwa mereka yang dapat keluar dari poverty trap akan memiliki kondisi yang lebih baik di jangka panjang dibandingkan mereka yang tidak.
Walaupun hasil yang diberikan dalam jangka pendek memiliki perbedaan yang negatif, pada tahun 2018–secara jangka panjang–perbedaannya positif dan signifikan. Apabila kita hanya menunjukkan dan meneliti efek hingga empat tahun setelah transfer, kita dapat secara salah menyimpulkan hasil penelitian kita. Dalam jangka panjang, rumah tangga yang berhasil melewati threshold level tidak hanya dapat menjaga dan memperbanyak ternaknya, tetapi juga dapat beralih ke pekerjaan yang lebih produktif seperti hasil yang terlihat di kolom (5) sampai (8) pada grafik. Ketika hambatan pada kepemilikan aset dihilangkan, mereka yang miskin dapat mengubah pekerjaannya. Maka, terbukti bahwa bukan kekurangan kompetensi mereka yang membuat mereka tidak dapat bekerja di pekerjaan yang lebih baik, melainkanketidakmampuan mereka dalam memiliki investasi awal- lah yang membuat mereka “terpinggirkan.”
Rekomendasi Kebijakan
Kesimpulan yang dapat kita ambil dari penelitian ini adalah keberadaan poverty trap yang terbukti kebenarannya dan menimbulkan perbedaan kesempatan di masyarakat yang merupakan alasan utama mengapa masyarakat tetap terjebak di kemiskinan. Hal ini memiliki tiga implikasi untuk kebijakan pembangunan. Pertama, “dorongan besar” yang dapat menimbulkan perubahan dalam pekerjaan dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah kemiskinan global. Dorongan kecil hanya akan meningkatkan konsumsi, tetapi tidak dapat mengeluarkan masyarakat dari poverty trap. Kedua, kebijakan dengan “dorongan besar” dapat memiliki efek yang bertahan lama sehingga selama menimbulkan perubahan pekerjaan, one-time pushes dapat memiliki efek permanen. Ketiga, poverty trap dapat menimbulkan ketidakcocokan antara pekerjaan dan talenta SDM-nya. Mereka yang berada dibawah threshold level sebenarnya memiliki kapabilitas untuk mengambil pekerjaan dari mereka yang lebih kaya, tetapi mereka memiliki hambatan dari sisi kekayaannya. Hal ini menyebabkan alokasi SDM yang efektif dan dapat mengoptimalisasi kegunaan kemampuan para masyarakat tidak dapat tercapai. Penelitian lanjutan untuk menggeneralisasi hasil penelitian ini tentunya diperlukan untuk menyesuaikan hasil penelitian ini dengan konteks dan intervensi lainnya.